Pembebasan Budak
(didalamnya disebutkan riwayat Abu Musa dari
Rasululloh)
133
- [3046] - حَدَّثَنَا قُتَيبةُ بْنُ سَعِيدٍ : حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ
مَنْصُورٍ ، عَنْ أَبِي وَائلٍ ، عَنْ أِبِي مُوسَى (1) رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : « فكُّوا الْعَانِيَ
- يَعْنِي الأَسِيرَ - وَأطْعِمُوا الجَائِعَ ، وَعُودُوا الْمَرِيضَ » . (2) . وفي رواية: «فكُّوا الْعَانِي، وَأَجِيبُوا الدَّاعِي، وَعُودُوا الْمَرِيضَ»
Artinya; Qutaybah ibn Sa’id meriwayatkan, Ibnu Jarir
menuturkan dari Manshur, dari Abu Wa’il dari Abu Musa ra. mengatakan, “Rasululloh pernah bersabda :
“Bebaskanlah para tawanan – maksudnya adalah kaum muslim yang tertawan di
tangan musuh-, berikanlah makanan bagi yang lapar, dan jenguklah orang yang
sakit.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Bebaskanlah para budah, hadirilah
undangan, dan jenguklah yang sedang sakit.”
Takhrij
Ringan:
Hadits
ini diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhori, juz-4, hal. 68, Kitab al-Jihad, Bab
Fukak al-Asiir, hadits ke-2819. Diulang beberapa kali; di hadits ke-4776, 4954,
5217 dan 6638 dengan sedikit perbedaan
lafal. Dan dalam Musnad Ahmad, Hadits Abi Musa al-Asy’ariy, no. 18812. Juga
dalam Sunan ad-Darimi, Bab fii Fukak al-Asiir, hadits ke 2356. Hadits ini juga
dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 4229
Kata-kata
sulit dalam hadits ini:
العاني semakna dengan kata الأسير yang artinya tawanan, dan ini adalah makna
yang pas dalam hadits di atas, sebagaimana telah diterangkan oleh salah satu
rawinya, sedang maksud perintah untuk membebaskannya adalah usaha untuk
melepaskannya dari cengkeraman musuh. Kata العاني juga bisa digunakan untuk menyebut semua
orang yang derajatnya dihinakan, tunduk dan rendah.
Biografi
singkat rawi awwalus sanad:
Nama aslinya Abdulloh, nasabnya adalah Abdulloh ibn Qais
ibn Sulaym ibn Hadhar ibn Harb ibn ‘Amir ibn Ghanm ibn Bakr ibn ‘Amir ibn ‘Udzr
ibn Wa’il ibn Najiah ibn al-Jamahir ibn al-Asy’ar. Beliau masuk islam di Makkah
dan ikut dalam rombongan hijrah ke Habasyah. Kemudian datang ke Madinah bersama
50 orang dari kaumnya pada masa perang Khaibar. Beliau adalah seorang sahabat
yang agung. Dalam Musnad Ahmad disebutkan tidak kurang dari sekitar 250 hadits
diriwayatkan dari beliau. Semasa hidupnya pernah diangkat oleh Rasululloh
sebagai gubernur daerah Zubayd dan Udun. Di masa ‘Umar, beliau ditunjuk sebagai
gubernur Bashrah dan menjadi panglima dalam beberapa futuhat. Beliau biasa dipanggil dengan kuniyah Abu Musa
al-Asy’ari, karena beliau memang berasal dari qabilah Asy’ariyyah. Pada masa
Utsman, beliau diangkat sebagai gubernur di Kufah. Dan tetap tinggal di wilayah
itu hingga wafat pada tahun 50-an Hijriyyah, ketika mencapai usia 63 tahun,
1.
Seorang juru da’wah haruslah mempunyai keinginan kuat dan tekad yang tinggi
dalam mengajarkan kebaikan apapun kepada orang lain.
2.
Termasuk dalam tema da’wah yang perlu diperhatikan adalah himbauan dan
seruan untuk membebaskan tawanan muslim yang ada dalam cengkeraman musuh.
3.
Termasuk tema-tema lain yang perlu diangkat dalam forum da’wah adalah;
menghasung untuk meberikan makan bagi yang membutuhkan, menjenguk orang yang
sakit dan mengijabahi undangan.
Berikut
ini adalah penjabaran poin-poin di atas:
Poin pertama, seorang da’i haruslah berkemauan kuat untuk
mengajarkan kebaikan. Sangat jelas dalam hadits ini teladan yang diberikan
Rasululloh sebagai seorang da’i yang berniat ikhlash. Beliau sangat ingin
menyebarkan nilai-nilai kebaikan itu pada orang lain, karenanya beliau pun
menghimbau ummat untuk berusaha membebaskan tawanan muslim dari tangan
musuh-musuh islam, juga mendorong ummat untuk gemar berbagi, memberikan makanan
kepada semua yang membutuhkan, baik manusia ataupun makhluk lainnya. Juga
menghasung mereka untuk menjenguk orang yang sakit dan menghadiri undangan.
Maka sudah selayaknya seorang muslim untuk bersemangat dalam memberikan manfaat
bagi saudaranya sesuai yang dia mampu, terlebih jika dia telah berstatus
sebagai seorang da’i yang tulus.
Poin ke-2, salah satu tema da’wah
yang perlu diketengahkan adalah hasungan untuk membebaskan tawanan muslim dari
tangan musuh islam. Membebaskan budak adalah fardhu kifayah menurut jumhur
ulama’. Maka harus ada diantara muslimin yang mengupayakan hal itu, terutama
bagi penduduk setempat. Hal itu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Imam Malik
pernah ditanya, “Apakah ummat islam diwajibkan juga membayarkan tebusan (dalam
rangka membebaskan tawanan)?” “Tentu saja, bukankah kalian wajib berperang
hingga berhasil menyelamatkan mereka? Mengapa membayar tebusan tidak wajib
(juga)?”. Sedangkan Imam Ahmad pernah berkata, “Tawanan muslim boleh ditebus
dengan tawanan kafir, adapun membayarkan upeti untuk pembebasan, itu tidak aku
ketahui.” Namun perintah dalam hadits ini bersifat umum, maka hal itu boleh
diusahakan dengan cara apa saja, baik dengan berjihad ataupun membayar tebusan.
Bahkan saking pentingnya hal ini, maka pertukaran tawanan pun boleh dilakukan.
Padahal melepaskan tawanan kafir itu tidak boleh dilakukan jika hanya ditebus
dengan harta
Mengenai harta yang digunakan untuk menebus itu, Umar ra.
dan sebagian ulama’ menyatakan bahwa uang penebusan itu diambil dari baitul
mal. Ibnu Zubayr menukil dari Hasan ibn ‘Ali bahwa hal itu menjadi tanggungan
penduduk di wilayah yang diserang. Mengingat bahwa membebaskan budak adalah
fardu kifayah maka 2 pendapat itu tidak bertentangan. Jika Daulah Islamiyyah
telah tegak, penebusan itu menjadi tanggungan Amirul Mu’minin. Sedang jika
keadaannya seperti sekarang ini, maka pendapat Hasan lebih tepat.
Poin ke-3, Tema-tema lain yang perlu
diusung di tengah ummat adalah ajakan untuk gemar berbagi, memberi makan kepada
yang membutuhkan, menjenguk orang sakit dan memenuhi undangan. Memberi makanan
bukanlah hal yang patut disepelekan dalam berda’wah. Karena Rasululloh
jelas-jelas memerintahkan hal itu. Ulama menilai bahwa hal ini hukumnya fardhu
kifayah jika memang keadaannya benar-benar darurat. Misalnya; kelaparan yang
jika tidak segera ditolong bisa menyebabkan kematian atau sakit. Maka jika ada
orang yang mati kelaparan. Hal itu akan menjadi dosa bagi orang yang
menyaksikan sedang dia mempunyai persediaan makanan. Adapun jika itu berupa
rasa lapar yang biasa, maka hukumnya mustahab. Hal ini tentu saja mencakup pelayanan kesehatan, pemeliharaan terhadap
kelayakan hidup bagi fakir miskin dan juga usaha untuk menjaga kehormatan
mereka agar tidak perlu menjadi peminta-minta.
Tentang urgensi berbagi makanan ini ada dalil yang shahih
dari riwayat Abdulloh ibn Salam ra, dia berkisah, “Saat pertama kali Rasululloh
menginjakkan kakinya di kota madinah, aku pun menghampiri kerumunan orang-orang
untuk ikut melihat, saat kuperhatikan wajah beliau, aku tahu bahwa wajah
seperti itu bukanlah wajah seorang pendusta. Aku ingat bahwa kalimat pertama
yang kudengar dari bibirnya saat itu adalah, “Wahai sekalian khalayak,
tebarkanlah ucapan salam, dan berbagilah makanan, sambunglah hubungan kerabat
dan shalatlah kalian di waktu malam, disaat orang-orang tertidur lelap. Niscaya
kalian akan dapat masuk surga dengan selamat.”
Ada pula riwayat lain dari Abu Malik Al-‘Asy’ariy ra. dari
Nabi, beliau bersabda, “Sesungguhnya di syurga itu ada ruangan-ruangan yang
bagian dalamnya tampak dari luarnya, dan bagian luarnya pun bisa dilihat dari
dalam. Ruangan-ruangan itu disediakan oleh Alloh bagi Sesiapa saja yang berbagi
makanan, menebar ucapan salam, memperhalus ucapan dan memperbanyak puasa serta
melakukan shalat di malam hari di saat orang lain tertidur nyenyak.”
Juga disebutkan dari ‘Ali ra. berkata, Rasululloh pernah
bersabda, “Sungguh di syurga ada balairung-balairung yang bagian dalamnya
dapat dilihat dari luar dan bagian luarnya juga tampak dari dalam.” Lalu
ada seorang arab badui menyela, “Untuk siapakah ruang-ruang itu, ya
Rasululloh?” “Untuk siapa saja yang memperbagus ucapannya, dan membagikan
makanannya, banyak berpuasa dan melakukan shalat dimalam hari di saat orang
lain tengah tertidur.”
Intinya bahwa dalam hadits-hadits itu ada hasungan kuat
untuk melakukan perbuatan-perbuatan mulia ini; memberikan makan, menebarkan
salam, memperbagus ucapan, memperbanyak puasa dan melakukan shalat di tengah
malam. Karena disebutkan disana bahwa siapa yang melakukan hal-hal tersebut,
dia berhak mendapatkan ruangan-ruangan syurga yang telah disebutkan sifat dan
keelokannya. Dan memang ruang-ruang tersebut hanya dikhususkan bagi orang-orang
yang mempunyai sifat-sifat sebagai
‘ibadur rahman yang hakiki, yaitu orang orang yang berakhlaq mulia, bagus
ucapannya, selalu bersikap rendah hati dan jika bergaul dengan orang-orang
bodoh senantiasa berlapang dada. Juga mereka-mereka yang memberikan hak makan,
bagi keluarganya, para fakir miskin, tamu yang berkunjung dan juga selain
mereka. Kemudian juga gemar berpuasa, artinya banyak melakukan puasa sunnah selain
menunaikan yang fardhu. Minimal mereka melazimi puasa tiga hari setiap
bulannya. Serta bagi mereka yang senantiasa menghidupkan malamnya dengan
shalat, disaat orang lain lebih memilih tidur. Karena melakukan amalan di malam
hari sedang orang lain tengah terlelap ini lebih selamat dari kemungkinan
terbersitnya riya’ ataupun sum’ah. Dan melakukan hal ini sendiri telah
membuktikan bahwa seseorang itu telah mencapai puncak tertinggi dalam
keikhlasan beramal. Maka ruangan ruangan tersebut benar-benar diperuntukkan
bagi mereka yang mampu memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Alloh juga telah
menyebutkan rauangan-rauangan khusus ini dalam surat Az-Zumar:20 yang artinya;
“Tetapi
orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya mereka mendapat tempat-tempat yang
tinggi, di atasnya dibangun pula tempat-tempat yang Tinggi yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai. Ini adalah janji Alloh. Allah tidak akan meigkari
janji-Nya.”
Juga
dalam surat Al-Ankabut:58 Alloh menyatakan, yamg artinya;
“Dan
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Sesungguhnya
akan kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang Tinggi di dalam syurga, yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah
sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal.”
Termasuk
tema menarik dalam berdakwah adalah hasungan untuk munjenguk orang sakit,
karena orang yang sakit mempunyai perasan butuh untuk diberikan perhatian dan
diperlakukan dengan penuh kelembutan. Kunjungan itu sendiri bagi mereka adalah hal
yang sangat berarti dan ini mungkin mampu membantu mempercepat proses
kesembuhan, menambahkan semangat untuk sembuh dan ketabahan bagi yang sedang
tertimpa musibah. Karena dengan kunjungan tersebut akan tumbuh perasaan
dihargai dan ini akan membantunya melawan penyakit yang sedang diderita. Lagi
pula memberikan kunjungan itu sendiri juga akan menghasilkan pahala yang sangat
besar. Sebab itu Rasul dengan jelas memerintahkan hal ini kepada ummatnya,
sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. ini menguatkan bahwa menjenguk
muslim yang sakit adalah tema yang penting dalam da’wah.
Mengunjungi si sakit bisa dimasukkan
dalam bab mustahabnya menjaga ukhuwwah dan bersikap baik kepada sesama muslim.
Atau bisa juga dihukumi sebagai fardhu
kifayah seperti hal-hal lain yang disebutkan dalam hadits ini. Hal itu jika si
sakit memang seorang muslim. Adapun jika dia seorang non-muslim, maka hukumnya
mubah saja. Itupun jika memang si sakit mempunyai hubungan kerabat atau
tetangga sebelah rumah. Atau diharapkan dengan kunjungan itu akan menariknya
masuk islam.
Kemudian, hal lain yang perlu
diperhatikan adalah anjuran untuk menghadiri undangan. Ulama sepakat bahwa
undangan walimah wajib dihadiri. Karena ada dalil dalil khusus yang menyebutkan
hal itu. Diantaranya adalah riwayat Ibnu ‘Umar yang menybutkan bahwa Rasululloh
sas. Pernah bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian diundang ke pesta
walimah hendaklah dia menghadirinya.” Juga pernyataan Abu Hurairah ra.,
“Barang-siapa mengabaikan undangan walimah, maka sungguh dia telah berlaku
durhaka kepada Alloh dan Rasul-Nya.”
Adapun untuk undangan lain, para ulama berbeda pendapat.
Imam Malik, Tsauriy, Abu Hanifah dan yang lainnya berpendapat bahwa selain
walimah tidak wajib didatangi. Sedan Imam Syafi’I mengatakan bahwa acara
makan-makan semisal khitanan dan aqiqah juga harus dihadiri, meskipun jika
meninggalkannya tidak sampai dihitung bermaksiat. Hal ini diperkuat adanya
riwayat lain dari Ibnu umar yang menyebutkan sabda Rasululloh, “Siapa saja yang
diundang ke pesta pernikahan atau semisalnya hendaklah memenuhi undangan itu.”
Ada pula riwayat lain dengan lafal “Jika seseorang diundang oleh kawannya,
hendaklah dia menghadirinya, baik dalam pesta pernikahan atau semisalnya.”
Lagipula, kata ‘walimah’ itu sendiri menurut Ibnu Hajar dapat dimaknai sebagai
makanan yang dibuat untuk momen-momen menggembirakan.
Namun kewajiban menghadiri walimah ini akan gugur jika
ada sebab-sebab khusus, diantaranya; Jika makanan yang dihidangkan jelas
mengandung syubhat, jika undangannya hanya dikhususkan untuk orang kaya saja
tanpa menyertakan kaum papa. jika ada yang akan terganggu dengan kedatangan
kita, jika majelis itu tidak pantas untuk yang diundang, jika undangan itu
diberikan hanya karena dia ditakuti atau karena diharapkan kemuliaan dengan
kedatangannya, atau diajak melakukan kejahatan. Begitu pula jika di dalamnya
banyak kemungkaran, semisal; khomr, music dan nyanyian, tempat tidur sutra,
bejana emas dan perak, patung makhluk hidup, dan sejenisnya yang diharamkan
oleh Alloh dan Rasulnya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud pernah
menghadiri undangan dan menemukan adanya pelanggaran syari’at maka diapun
pulang. Imam al-Qurthubi juga menyebutkan bahwa jika dalam walimah ada
kemungkaran maka dilarang menghadirinya menurut seluruh ulama’.
Terkecuali jika dia memang mampu merubah kemungkaran itu
atau menghilangkannya, maka wajib mennghadiri sekaligus mengingkari kemungkaran
yang ada. Karena dengan itu dia telah melakukan dua kewajiban sekaligus;
menghadiri undangan dan melakukan nahi mungkar. Dapat juga dilakukan
pengingkaran dengan memberikan syarat bahwa jika kemungkaran itu masih tetap
ada, maka dia tidak akan hadir. Semisal yang dilakukan oleh Abu Ayyub ketika
diundang oleh Ibnu Umar, kemudian beliau melihat dirumah itu ada dinding yang berlapis
kain, maka dia mengatakan, “Apakah anda melapisi dinding seperti ini hingga
menyerupai ka’bah?” Lalu Ibnu ‘Umar beralasan bahwa itu atas desakan ibu-ibu
setempat. Maka dengan tegas Abu Ayyub menjawab, “Semua orang aku khawatirkan
akan kalah dengan desakan mereka, tapi ini engkau wahai Ibnu ‘Umar! Demi Alloh
saya tidak akan memakan hidanganmu hingga kain pelapis itu dicabut.”
Maka seyogyanya seorang da’i haruslah menghasung untuk
menghadiri undangan dan menghilangkan kemungkaran. Adapun jika dia tidak mampu
menghilangkan kemungkaran, maka tidak mengapa untuk tidak hadir. Kecuali jika
ketidak hadirannya itu menyebabkan mafsadah yang lebih besar, maka boleh
menghadirinya demi menghidari mafsadah tersebut.
Sebagian ulama’ juga memakruhkan untuk menghadiri
undangan yang lebih dari tiga hari. Karena menurut mereka undangan yang
berlangsung dalam satu hari itulah yang sunnah, jika selama dua hari maka itu
masih mubah, adapun tiga hari ke atas, itu sudah masuk dalam kategori sum’ah.
Namun Imam Bukhori menolak hal ini dengan Alasan bahwa hadits yang menyebutkan
perintah menghadiri undangan itu umum, tanpa ada perincian harus kurang dari
tiga hari.
Dan boleh juga untuk tidak menghadiri asalkan sudah
meminta izin kepada si pengundang, sehingga dia mengetahui alasan dan
memaafkannya. Wallohu a’lam.
Referensi risalah ini:
1.
Fiqh Da’wah fi Shahih Bukhori, Karya Sa’id ibn ‘Ali ibn Wahb al-Qohthoni
2.
Shahih Bukhari, karya Imam Bukhori
3.
Musnad Imam Ahmad, Karya Imam Ahmad ibn Hambal
4.
Shahih Jami’us Shaghir, Karya Al-Albani
5.
Syarah Shahih Bukhari, Karya Ibnu Baththal
6.
Fathul Bari, karya Ibnu Hajar al-Atsqalani
7.
‘Umdatul Qari, KArya Abu Muhammad Mahmud al-‘Aini
8.
At-Taysir bi Syarhi Jami’is Shagir, karya ‘Abdur Ra’uf Al-Munawi Al-Qahiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar