URGENSI MENJAGA
SALAMATUL AQIDAH
Hakikat aqidah
adalah pondasi dari dinul Islam ini, rukun yang pertama dari lima rukun Islam
maka sudah menjadi kewajiban atas setiap muslim untuk memberikan perhatian yang
besar kepadanya dan memprioritaskannya dengan menjaganya serta mempelajarinya,
sehingga seseorang senantiasa bisa berada di atas jalan kebenaran, kebaikan dan
kearifan, berada di atas manhaj aqidah yang benar sebab Ad-Diin apabila
dibangun di atas pondasi yang benar maka ia akan menjadi kuat kokoh dan
pastinya diterima di sisi Allah Ta’ala, akan tetapi jikalau agama ini dibangun
di atas sebuah pondasi yang lemah mudah tergoyahkan, maka agama ini pun akan
menjadi rusak tatanannya kabur nilai-nilai kebenarannya.
Maka dari pada
otu para ulama pun sangat mencurahkan perhatian mereka kepada yang satu ini dan
tidak sekali-kali mengada-ada dengan hanya sekedar menyandarkan kepada akal
fikirannya semata dalam menjelaskannya, bahkan para ulama kontemporer telah dan
harus mengambil riwayat dalam permasalahan aqidah dari para pendahulu mereka.
Karena dalam hal ini, aqidah yang bersumber langsung dari Allah dan Rasulullah
kemudian ditalaqqi oleh para sahabat kepada Rasulullah, mereka ridlwanullah
‘alaihim tidak pernah sekalipun ada keraguan terhadap segala sesuatu yang
terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah sehingga aqidah mereka terbangun di atas
pondasi Al-Qur’an dan Sunnah, tidak terkontaminasi dengan berbagai
pikiran-pikiran yang meruntuhkan pondasi aqidah mereka dan belum terlalu banyak
perselisihan maupun perbedaan pendapat diantara mereka, cukup apa yang
dikatakan oleh Allah dan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam mereka yakini dan mereka berpegang teguh kepadanya. Namun pada saat itu mereka belum butuh untuk menyusun tulisan-tulisan atau karangan-karangan, karena masalah i’tiqod/keyakinan bagi mereka adalah suatu hal yang qoth’i dan dikembalikan kepada individu, tetapi baru mereka angsurkan kepada para murid mereka dari kalangan tabi’in yang menimba ilmu kepada mereka itupun belum banyak terjadi perdebatan dan adu argumen di antara mereka.
shallallahu alaihi wasallam mereka yakini dan mereka berpegang teguh kepadanya. Namun pada saat itu mereka belum butuh untuk menyusun tulisan-tulisan atau karangan-karangan, karena masalah i’tiqod/keyakinan bagi mereka adalah suatu hal yang qoth’i dan dikembalikan kepada individu, tetapi baru mereka angsurkan kepada para murid mereka dari kalangan tabi’in yang menimba ilmu kepada mereka itupun belum banyak terjadi perdebatan dan adu argumen di antara mereka.
Akan tetapi
setelah timbulnya banyak perdebatan juga munculnya beberapa aliran pemikiran
serta telah merasuknya berbagai keyakinan yang menyimpang mulailah berkembang
dalam tubuh umat Islam sekte-sekte sesat yang tidak merujuk kepada Al-Qur’an
dan Sunnah menyimpang dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mulailah para
ulama’ salaf merenungkan akan kebutuhan kepada penjelasan aqidah islamiyah
shohihah melalui tulisan, melalui jalur periwayatan kepada para kader penerus
setelah mereka agar kebenaran dan keotentikan aqidah islamiyah ini bisa terjaga
sehinga bisa sampai kepada generasi-generasi umat di kemudian hari. Mereka pun
mulai menulis, menyusun kitab-kitab aqidah yang kemudian dijadikan refrensi
oleh para ulama’, tholibul ilmi yang hidup setelah mereka bahkan kelak sampai
hari kiamat.
Dan demikianlah
sebagai salah satu bentuk penjagaan dan pemeliharaan yang diadakan oleh Allah
Ta’ala terhadap dinul Islam ini, yakni dengan melimpahkan anugerah-Nya kepada
diin ini para pembawa panji yang amanah yang senantiasa menyampaikan
ajaran-ajaran Islam yang murni datang dari Allah dan Rasul-Nya kepada genarasi
umat di hari kemudian, mereka menyanggah takwilan para pendusta dan tasybih
(penyerupaan Al-Khaliq dengan makhluq) yang dilakukan para musyabbih (pembuat
tasybih) sehingga keabshahan aqidah Islamiyah ini bisa diwariskan dari para
salaf kepada para khalaf.
Diantara sekian
ulama, para pengikut madzahib arba’ah jugalah yang termasuk memberikan banyak
perhatian kepada aqidah islamiyah ini, mereka pelajari, mereka hafalkan dan
juga mereka tuangkan dalam kitab-kitab mereka sesuai dengan manhaj kitabullah
dan Sunnah Rasulullah alaihis shalatu wasallam beserta para shahabat
radliyallahu ‘anhum juga para tabi’in rahimahumullah. Mereka membantah serta
meluruskan i’tiqod yang merusak dan menyimpang, kemudian mereka berikan
keterangan serta mereka ungkap kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya,
bahkan bukan hanya para imam madzahib arba’ah namun juga dari kalangan para
ulama’ ahli hadits pun turut ikut ambil andil sehingga tersebutlah semisal;
Ishaq bin Rohuyah, Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qutaibah, dsb.
Begitu juga dari kalangan mufassirin tersebutlah semisal, Ibnu Jarir,
Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Al-Baghawi, dsb.
Mereka para
aimmah tersebut banyak menyusun dan mengarang kitab seputar permasalahan
aqidah, maka diantara mereka ada yang mengistilahkan aqidah dengan beberapa
istilah, ada yang menamakan kitab karangan mereka dengan “As-Sunnah”, semisal;
kitab As-Sunnah karangan Ibnu Abi ‘Ashim, kitab As-Sunnah karangan Imam Ahmad
bin Hanbal, As-Sunnah karangan Al-Khallal, dsb. Sebagian dari mereka juga ada
yang menamakan kitab karangan mereka dengan penamaan “Asy-Syari’ah”, semisal
Imam Al-Ajuri yang mengarang kitab Asy-Syari’ah, dan diantara mereka juga ada
yang menamakan kitab karangan mereka dengan Al-Fiqh Al-Akbar semisal Imam Abu
Hanifah yang mengarang kitab Al-Fiqh Al-Akbar.
Dari kalangan
para ulama’ yang juga tehitung ikut ambil andil dalam menyusun kitab berkaitan
dengan permasalahan aqidah adalah imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin
Salamah Al-Azdi Ath-Thahawi[1],
seorang yang alim pada masa abad ke-3 berasal dari Mesir, beliau menyusun
berbagai permasalahan aqidah secara ringkas namun sangat bermanfaat dan berguna
yang terangkum dalam kitabnya “Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah”.[2]
SYARH MATAN
AQIDAH THAHAWIYAH
Berkata
Al-‘Allamah hujjatul Islam Abu Ja’far Al-Warraq Ath-Thahawi rahimahullah: “Ini
adalah penjelasan aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah menurut madzhab para fuqaha’
umat; Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit Al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim
Al-Anshari dan Abu Abdillah Muhammad terhadap perkara pokok-pokok diin serta
apa yang mereka yakini tehadap Rabbul Alamin.
نقول في توحيد الله معتقدين بتوفيق الله : إن
الله واحد لا شريك له
Artinya: “kami
mengatakan tentang bertauhi kepada Allah dengan tetap meyakini taufiq dari
Allah: bahwasanya Allah itu satu tidak ada sekutu baginya”
Tauhid secara
bahasa adalah mashdar dari kata ‘wahhada’ menjadikan sesuatu hanya
satu-satunya, dan secara istilah adalah pengkhususan Allah Subhanahu wa Ta’ala
saja dalam hal peribadatan kemudian meninggalkan segala bentuk peribadatan
selain-Nya.
Selayaknya bagi
setiap orang yang mengaku muslim yang memeluk dinullah untuk benar-benar memahami
bahwasanya tauhid adalah inti pokok dakwah para Rasul, Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku
sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya."
[QS.Al-A’raf:59]
Nabiyullah hud
alaihis salam berkata kepada kaumnya, tercatat dalam Al-Qur’an:
“Hai kaumku, sembahlah
Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya.”[QS.Al-A’raf:65]
Begitu juga anbiyaullah
yang lain semisal Sholih alaihis salam, Syu’aib alaihis salam beserta para
anbiya’ lainnya yang kisah-kisah mereka telah terabadikan di dalam Al-Qur’an.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan kami tidak mengutus
seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya:
"Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah
olehmu sekalian akan aku"[QS.Al-Anbiya’:25]
Maka dari itu tauhid
adalah gerbang utama dari jalan menuju kampung akhirat, langkah yang paling
pertama dari perjalanan seorang hamba yang dia tempuh menuju Allah Subhanahu wa
Ta’ala, satu hal kewajiban yang paling pertama bagi seorang yang telah
terbebani dengan hukum syari’at (baligh) adalah syahadat bahwasanya tiada Tuhan
yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya,
dan tidak ada perbedaan sedikit pun dalam masalah ini dari para ulama’ dan
aimmah karena ketetapan yang ada langsung datang dari sumber syari’at Islam itu
sendiri yakni Allah dan Rasul-Nya bahwa kewajiban yang pertama sebelum
kewajiban lainnya atas seorang hamba adalah syahadatain, para ulama’ pun juga
bersepakat bahwa bagi siapa saja yang telah mengikrarkan syahadatain sebelum
baligh, tidak diperintahkan untuk memperbaharui ikrarnya kali kedua setelah
memasuki masa bulugh, juga tidak mensyaratkan bagi walinya untuk mewakili atau
mendikte setelah balighnya guna memperbaharui iktat syahadatiannya.[3]
Lebih dari pada itu semua
tauhid adalah kunci awal memasuki dinul Islam, dan hal terakhir yang harus
tertancap dalamkalbu terucap pada lisan sebelumpergi meninggalkan dunia ini
menuju alam barzakh, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
من كان آخر كلامه لاإله إلا الله وجبت له الجنة
Artinya:
“Barang
siapa yang kalimat terakhir yang diucapkan olehnya adalah laa ilaaha illallah
wajib baginya masuk surga.”[4]
Setelah berbagai
penelitian, pendalaman dan tela’ah panjang terhadap Kitabullah dan Sunnah yang
dilakukan oleh para ulama’ mereka menyimpulkan bahwa tauhid terbagi menjadi 3
macam:
1.
Tauhid Rububiyah
Maksudnya adalah
mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dengan mengkhususkan-Nya dengan af’al yang Dia
perbuat semisal; Menciptakan, Menghidupkan, Mematikan, Mengatur segala-galanya,
maka tiada Tuhan selain Dia Subhanahu wa Ta’ala.
2.
Tauhid Uluhiyah
Juga disebut
dengan tauhid ibadah karena uluhiyah juga bermakna beribadah hanya kepada Allah
dengan penuh mahabbah/rasa cinta khou/rasa takut roja’/rasa harap, menjalankan
segala perintah-Nya serta meninggalkan segala larangan-Nya. Maksudnya adalah
pengistimewaan Allah Ta’ala yang bersinggungan dengan perbuatan para hamba
dalam melaksanakan segala sesuatu yang disyari’atkan oleh-Nya.
3.
Tauhid Asma’ wa
Sifat
Yaitu menetapkan
apa yang ditetapkan oleh Allah tentang Dzat-Nya sendiri ataupun apa yang
ditetapkan oleh Rasul-Nya seputar permasalahan nama-nama-Nya dan
sifat-sifat-Nya, serta mensucikan apa yang Dia dan Rasul-Nya sucikan juga
sterilkan tentang Dzat-Nya dari segala macam aib maupun kekurangan.
Penyebutan kata Aqidah
maupun Tauhid maknanya adalah tetap sama, meskipun penyebutannya secara nama
ataqu istilah berbeda.
Pertakaan Imam Abu Ja’far
Ath-Thahawi dalam matan بتوفيق الله dimaksudkan sebagai
bentuk penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala, perendahan diri di
hadapan-Nya, karena manusia tiada pernah sekalipun bahkan sedikit pun bisa
menyucikan jiwanya dengan sendirinya kecuali karena limpahan rahmat yang
diberikan oleh Al-Khaliq Sang Penciptanya. Karena lebih dalam lagi makna dari
perkataan ‘bitaufiqillah’ adalah dengan masyiah/kehendak dari Allah, dengan
datangnya daya kekuatan dari Allah semua upaya, usaha yang dijalankan oleh
manusia bisa terlaksana, maka termsuk adab seorang yang alim adalah mengawali
dan mengakhiri seluruh usahanya dengan mengucapkan ‘bitaufiqillah’.
"إن الله واحد لا شريك له" maknanya adalah satu dalam urusan kerububiyahan, satu dalam
masalah keuluhiyahan, dan satu dalam permasalahan asma’ wa sifat, tiada yang
menandinginya dan tiada yang menyukutuinya.
ولا شيئ مثله
Artinya: “Tidak ada sesuatu yang semisal dengan-Nya”
Mengutip dari firman-Nya Azza wa Jalla termaktub dalam
Al-Qur’an:
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.”[QS.Asy-Syura:11]
Artinya: ”Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan
Dia."[QS.Al-Ikhlash:4]
Artinya: “Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama
dengan dia (yang patut disembah)?[QS.Maryam:65]
Tiada tandingan yang menyeruapain-Nya, tiada bandingan
yang menandingi-Nya, Tiada sesuatu apapun yang setara dengan-Nya sebesar
apapun, setangguh, sekokoh, seperti apapun itu tiada mampu menyaingi dzat-Nya
juga kekuasaan-Nya. Maka dari itu segala bentuk tamtsil (permisalan) dan
tasybih (penyerupaan) dinafikan seluruhnya oleh Allah Azza wa Jalla, cukup
dengan mengemukakan satu diantara dail-dalil naqli yang ada tersebut untuk
menyanggah pendapat-pendapat batil para musyabbihah yang berkeyakinan bahwa
Allah itu sebagaimana makhluq-Nya yang tidak membedakan antara Al-Khaliq dengan
makhluq. Sementara sebaliknya pendapat para mu’aththillah/peniada yang mereka
itu ghuluw dalam hal pensucian sampai-sampai mereka berani meniadakan apa-apa
yang telah Allah tetapkan tentang permasalahan asma’ wa sifat, yang menurut
anggapan mereka sebagai bentuk penolakan terhadap tasybih/penyerupaan.
Sehingga diantara dua kelompok yang ghuluw, yakni
al-mu’aththillah yang ghuluw/ekstrem dalam pensucian serta mengaku telah
meniadakan seluruh permisalan, begitu juga Al-Musyabbihah yang ghuluw/ekstrem
dalam masalah penetapan melebihi ketetapan Allah, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah
lebih tawassuth/bersifat tengah-tengah antara yang ghuluw dan kendor, antara
yang ifroth maupun tafrith. Ahlus Sunnah menetapkan apa yang Allah dan
Rasul-Nya tetapkan bagi Dzat-Nya dan yang layak bagi kebesaran-Nya, tanpa ada
unsur tasybih maupun ta’thil, sebagaimana batas ketentuan dalam firman-Nya:
Maka firman-Nya “laisa kamitslihi syaiun” terdapat
peniadaan/penafian terhadap seluruh perkara tasybih, sementara firman-Nya
“wahuwa Sami’ul Bashir” terdapat peniadaan/penafiaan terhadap seluruh perkara
ta’thil, inilah pendapat sekaligus madzhab yang benar yang sekaligus
diatasnyalah berjalan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sehingga benarlah
apabila dikatakan:
المعطل يعبد
عدما, والمشبه يعبد صنما, والموحد يعبد إلها واحدا فردا صمدا
ولا شيئ يعجزه
Artinya: “Tidak ada sesuatu apapun yang melemahkan-Nya.”
Dalam pembahasan ini terdapat penetapan atas kesempurnaan
kekuasaan yang dimiliki oleh Allah Azza wa Jalla, ketetapan atas keumuman
segala sesuatu yang diliptui oleh kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah
Ta’ala berfirman:
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
[QS.Al-Maidah:120]
وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا
Artinya: “Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” [QS.Al-Kahfi:45]
إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Kuasa.”[QS.Fathir:44]
Sedangkan makan qadir adalah yang sangat-sangat menguasai
atau mampu, maka kemampuan dan kekuasaan Allah Ta’ala tida sesuatu apapun yang
sanggup melemahkan-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu cukuplah Dia mengatakan
“kun” fayakun maka jadilah apa yang Dia kehendaki.
Ø
إنه على ما يشاء
قدير
Ada beberapa perkataan yang sekilas nampak baik namun
jika diteliti lagi hakikatnya mengandung kecacatan, semisal perekataan
tersebut, yang artinya: “Sesungguhnya Dia atas apa yang dikehendaki-Nya Maha
Kuasa”. Pernyataan tersebut adalah salah dan tidak dibenarkan, karena ssecara
logika saja berarti Allah Ta’ala terhadap apa yang tidak dikehendaki tidak
Kuasa atas hal tersebut padahal semestinya (Kama yaliku lijalalihi) terhadap
apa yang dikehendaki dan apa yang tidak dikehendaki oleh-Nya adalah pasti dan
tetap Maha Kuasa atasnya. Akan tetapi pada intinya, sebagai sanggahan atas
pernyataan tersebut bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah
mengaitkan sifat Qudrah-Nya dengan Masyiah-Nya, namun cukup Dia menyebut,
“Wahuwa ‘ala kulli syain Qodir”. Lalu
bagaimana dengan firman-Nya yang menyebutkan:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَثَّ فِيهِمَا مِنْ دَابَّةٍ وَهُوَ عَلَى
جَمْعِهِمْ إِذَا يَشَاءُ قَدِيرٌ
Artinya: “Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata yang Dia sebarkan
pada keduanya, dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila
dikehendaki-Nya”[QS.Asy-Syura:29]
Ayat tersebut menyinggung tentang hari kebangkitan nanti
pada Hari Kiamat sehingga yang dimaksudkan dari ayat tersebut adalh bahwasanya
Dia Azza wa Jalla untuk mengumpulkan apa yang telah Dia tebarkan diantara
langit dan bumi mulai dari hewan-hewan melata jika Dia menghendakinya pastilah
Dia kumpulkan dan jikalau belum Dia kehendaki maka pastilah tidak akan
terkumpulkan, karena Dia lah yang Maha Memiliki Kukuasaan tidak pernah diudzur
dan tidak akan ditanya tentang apa yang Dia perbuat dan yang dikehendaki[5],
Allah berfirman:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Artinya: “Dia tidak ditanya tentang apa yand
diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”[QS.Al-Anbiya’:23]
ولا إله غيره
Artinya: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain
Dia”
Yang dimaksudkan adalah tauhid uluhiyah, yaitu tiada
sesembahan yang Haqq untuk disembah kecuali Allah Ta’ala, adapun bila sebatas
dikatakan tiada sesembahan yang Haqq untuk disembah kecuali Allah Ta’ala saja,
maka ini membuka kemungkinan akan kebenaran sesembahan yang diagungkan oleh
orang-orang musyrik selain Allah Azza wa Jalla, maka yang tepat adalah
hendaknya dikatakan Allah lah sesembahan yang Haqq sementara selain Dia adalah
sesembahan yang bathil, sebagaimana firman-Nya:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ
هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ
اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
Artinya: “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya
Allah Dialah (Tuhan) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain
dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi
lagi Maha Besar”[QS.Al-Hajj:62]
قديم بلا ابتداء,
دائم بلا انتهاء
Artinya: “Maha Dahulu tanpa permulaan, Naha Abadi tanpa
berkesudahan.”
Sebagaimana yang tertera dalam firman-Nya:
هُوَ الْأَوَّلُ
وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Dialah yang
Awal dan yang Akhir yang Dlahir dan yang Bathin dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.”[QS.Al-Hadid:3]
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam juga bersabda:
أَنْتَ الأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ
شَىْءٌ وَأَنْتَ الآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَىْءٌ
Artinya: “Ya Allah
Engkaulah Tuhan Yang Maha Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu,
Ya Allah Engkaulah Tuhan Yang Maha Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu”[6]
Dalam permasalahan ini
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah ingin menjelaskan bahsawasanya Allah
Ta’ala terlepas dari segala kekurangan, semisal zaman yang telah Allah ciptakan
namn Allah tidaklah terhimpun oleh zaman yang Dia ciptakan, begitu juga Dia
telah menciptakan makan/tempat namun Allah tidaklah terhimpun oleh tempat/makan
yang Dia ciptakan, karena Allah Ta’ala sebagai Al-Khaliq bagi zaman telah
terlebih dahulu mendahului sebelum terciptakannya zaman dan Allah Ta’ala akan
tetap Kekal tiada akhir meskipun pada suatu zaman dan akan berakhir pada suatu
zaman sebab zaman adalah makhluq yang terbatas sementara Allah Ta’ala telah ada
sebelum makhluq ciptaan-Nya. Wata’alallahu ‘Uluwan Kabiran
لا يفني ولا يبيد
Artinya: “Dia
tidak akan fana dan tidak akan punah.”
Al-Fana’ dan
al-baid adalah satu makna, karena Allah Ta’ala disifati dengan AL-Hayah yang
Kekal terus menerus tiada akhir dan henti, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
وَتَوَكَّلْ عَلَى
الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ
Artinya: “Dan
bertawakkallah kepada Allah yang hidup (Kekal) yang tidak
mati”[QS.Al-Furqan:58]
Maka Allah
terlepas dari kefanaan, Allah berfirman:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ
إِلَّا وَجْهَهُ
Artinya:
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya”[QS.Al-Qashash:88]
Pada ayat yang
lain Allah juga berfirman:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا
فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya: “Semua
yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemulian.”[QS.Ar-Rahman:26-27]
Sehingga
milik-Nya lah segala kekelan dan bagi makhluq hanyalah kematian dan
kebangkitan, karena pada mulanya makhluq itu hakikatnya adalah tiada kemudian
diadakan dan diciptakan oleh Allah Ta’ala, kemudian setelah mereka diciptakan
mereka akan dimatikan lagi lalu dibangkitkan kembali oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
Wallahu Ta’ala
a’lam wa ‘ilmuhu ahkam wa atamm, wa sholawatu Rabbi ‘ala Nabiyyihi Muhammad wa
‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
[1] Imam besar Al-Hafidz Al-‘Allamah
Al-Muhaddits negeri-negeri Mesir Al-Faqih, banyak menguasai disiplin ilmu
hadits dan fiqh kemudian banyak mengarang serta menyusun kitab berkaitan dengan
ilmu-ilmu tersebut. beliau terkenal dengan ketsiqohannya, tsabat, faqih, alim,
belum ada (pada zamannya) yang menggantikannya sehingga bagi siapa saja yang
mentela’ah kitab-kitab karangan beliau niscaya akan mendapatinya sebagai sosok
yang alim lagi luas ilmu pengetahuannya. Beliau wafat pada tahun 321 H
rahimahullah Ta’ala. (Siyar A’lamin Nubala’:27/15-33)
[2] Diintisarikan dari kitab “Syarhul
Aqidah Ath-Thahawiyah” karya Syaikh Ibnu Jibrin.
[3] Ibnu Abil ‘Izz, Syarhul Aqidah
Thahawiyah, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1421 H, cet.XIII, Juz.I, hal.23
[4] Maktabah Syamilah, Mutunul Hadits, Musnad
Ahmad, Ahmad bin Hambal, no: 22127, hal:443.
[5] Maktabah Syamilah, Tafsir Thabari: 21/538
[6] HR.Muslim, kitab: Dzikir doa taubat dan istighfar,
bab: doa ketika akan tidur, no: 4888.
0 komentar:
Posting Komentar