Pengikut

Pages

Sabtu, 05 Januari 2013

URGENSI MENJAGA SALAMATUL AQIDAH



URGENSI MENJAGA SALAMATUL AQIDAH


Hakikat aqidah adalah pondasi dari dinul Islam ini, rukun yang pertama dari lima rukun Islam maka sudah menjadi kewajiban atas setiap muslim untuk memberikan perhatian yang besar kepadanya dan memprioritaskannya dengan menjaganya serta mempelajarinya, sehingga seseorang senantiasa bisa berada di atas jalan kebenaran, kebaikan dan kearifan, berada di atas manhaj aqidah yang benar sebab Ad-Diin apabila dibangun di atas pondasi yang benar maka ia akan menjadi kuat kokoh dan pastinya diterima di sisi Allah Ta’ala, akan tetapi jikalau agama ini dibangun di atas sebuah pondasi yang lemah mudah tergoyahkan, maka agama ini pun akan menjadi rusak tatanannya kabur nilai-nilai kebenarannya.
Maka dari pada otu para ulama pun sangat mencurahkan perhatian mereka kepada yang satu ini dan tidak sekali-kali mengada-ada dengan hanya sekedar menyandarkan kepada akal fikirannya semata dalam menjelaskannya, bahkan para ulama kontemporer telah dan harus mengambil riwayat dalam permasalahan aqidah dari para pendahulu mereka. Karena dalam hal ini, aqidah yang bersumber langsung dari Allah dan Rasulullah kemudian ditalaqqi oleh para sahabat kepada Rasulullah, mereka ridlwanullah ‘alaihim tidak pernah sekalipun ada keraguan terhadap segala sesuatu yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah sehingga aqidah mereka terbangun di atas pondasi Al-Qur’an dan Sunnah, tidak terkontaminasi dengan berbagai pikiran-pikiran yang meruntuhkan pondasi aqidah mereka dan belum terlalu banyak perselisihan maupun perbedaan pendapat diantara mereka, cukup apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam mereka yakini dan mereka berpegang teguh kepadanya. Namun pada saat itu mereka belum butuh untuk menyusun tulisan-tulisan atau karangan-karangan, karena masalah i’tiqod/keyakinan bagi mereka adalah suatu hal yang qoth’i dan dikembalikan kepada individu, tetapi baru mereka angsurkan kepada para murid mereka dari kalangan tabi’in yang menimba ilmu kepada mereka itupun belum banyak terjadi perdebatan dan adu argumen di antara mereka.
Akan tetapi setelah timbulnya banyak perdebatan juga munculnya beberapa aliran pemikiran serta telah merasuknya berbagai keyakinan yang menyimpang mulailah berkembang dalam tubuh umat Islam sekte-sekte sesat yang tidak merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah menyimpang dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mulailah para ulama’ salaf merenungkan akan kebutuhan kepada penjelasan aqidah islamiyah shohihah melalui tulisan, melalui jalur periwayatan kepada para kader penerus setelah mereka agar kebenaran dan keotentikan aqidah islamiyah ini bisa terjaga sehinga bisa sampai kepada generasi-generasi umat di kemudian hari. Mereka pun mulai menulis, menyusun kitab-kitab aqidah yang kemudian dijadikan refrensi oleh para ulama’, tholibul ilmi yang hidup setelah mereka bahkan kelak sampai hari kiamat.
Dan demikianlah sebagai salah satu bentuk penjagaan dan pemeliharaan yang diadakan oleh Allah Ta’ala terhadap dinul Islam ini, yakni dengan melimpahkan anugerah-Nya kepada diin ini para pembawa panji yang amanah yang senantiasa menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang murni datang dari Allah dan Rasul-Nya kepada genarasi umat di hari kemudian, mereka menyanggah takwilan para pendusta dan tasybih (penyerupaan Al-Khaliq dengan makhluq) yang dilakukan para musyabbih (pembuat tasybih) sehingga keabshahan aqidah Islamiyah ini bisa diwariskan dari para salaf kepada para khalaf.
Diantara sekian ulama, para pengikut madzahib arba’ah jugalah yang termasuk memberikan banyak perhatian kepada aqidah islamiyah ini, mereka pelajari, mereka hafalkan dan juga mereka tuangkan dalam kitab-kitab mereka sesuai dengan manhaj kitabullah dan Sunnah Rasulullah alaihis shalatu wasallam beserta para shahabat radliyallahu ‘anhum juga para tabi’in rahimahumullah. Mereka membantah serta meluruskan i’tiqod yang merusak dan menyimpang, kemudian mereka berikan keterangan serta mereka ungkap kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya, bahkan bukan hanya para imam madzahib arba’ah namun juga dari kalangan para ulama’ ahli hadits pun turut ikut ambil andil sehingga tersebutlah semisal; Ishaq bin Rohuyah, Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qutaibah, dsb. Begitu juga dari kalangan mufassirin tersebutlah semisal, Ibnu Jarir, Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Al-Baghawi, dsb.
Mereka para aimmah tersebut banyak menyusun dan mengarang kitab seputar permasalahan aqidah, maka diantara mereka ada yang mengistilahkan aqidah dengan beberapa istilah, ada yang menamakan kitab karangan mereka dengan “As-Sunnah”, semisal; kitab As-Sunnah karangan Ibnu Abi ‘Ashim, kitab As-Sunnah karangan Imam Ahmad bin Hanbal, As-Sunnah karangan Al-Khallal, dsb. Sebagian dari mereka juga ada yang menamakan kitab karangan mereka dengan penamaan “Asy-Syari’ah”, semisal Imam Al-Ajuri yang mengarang kitab Asy-Syari’ah, dan diantara mereka juga ada yang menamakan kitab karangan mereka dengan Al-Fiqh Al-Akbar semisal Imam Abu Hanifah yang mengarang kitab Al-Fiqh Al-Akbar.
Dari kalangan para ulama’ yang juga tehitung ikut ambil andil dalam menyusun kitab berkaitan dengan permasalahan aqidah adalah imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah Al-Azdi Ath-Thahawi[1], seorang yang alim pada masa abad ke-3 berasal dari Mesir, beliau menyusun berbagai permasalahan aqidah secara ringkas namun sangat bermanfaat dan berguna yang terangkum dalam kitabnya “Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah”.[2]
SYARH MATAN AQIDAH THAHAWIYAH
Berkata Al-‘Allamah hujjatul Islam Abu Ja’far Al-Warraq Ath-Thahawi rahimahullah: “Ini adalah penjelasan aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah menurut madzhab para fuqaha’ umat; Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit Al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari dan Abu Abdillah Muhammad terhadap perkara pokok-pokok diin serta apa yang mereka yakini tehadap Rabbul Alamin.
 نقول في توحيد الله معتقدين بتوفيق الله : إن الله واحد لا شريك له
Artinya: “kami mengatakan tentang bertauhi kepada Allah dengan tetap meyakini taufiq dari Allah: bahwasanya Allah itu satu tidak ada sekutu baginya”
Tauhid secara bahasa adalah mashdar dari kata ‘wahhada’ menjadikan sesuatu hanya satu-satunya, dan secara istilah adalah pengkhususan Allah Subhanahu wa Ta’ala saja dalam hal peribadatan kemudian meninggalkan segala bentuk peribadatan selain-Nya.
Selayaknya bagi setiap orang yang mengaku muslim yang memeluk dinullah untuk benar-benar memahami bahwasanya tauhid adalah inti pokok dakwah para Rasul, Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." [QS.Al-A’raf:59]
Nabiyullah hud alaihis salam berkata kepada kaumnya, tercatat dalam Al-Qur’an:
“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya.”[QS.Al-A’raf:65]
Begitu juga anbiyaullah yang lain semisal Sholih alaihis salam, Syu’aib alaihis salam beserta para anbiya’ lainnya yang kisah-kisah mereka telah terabadikan di dalam Al-Qur’an. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku"[QS.Al-Anbiya’:25]
Maka dari itu tauhid adalah gerbang utama dari jalan menuju kampung akhirat, langkah yang paling pertama dari perjalanan seorang hamba yang dia tempuh menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala, satu hal kewajiban yang paling pertama bagi seorang yang telah terbebani dengan hukum syari’at (baligh) adalah syahadat bahwasanya tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya, dan tidak ada perbedaan sedikit pun dalam masalah ini dari para ulama’ dan aimmah karena ketetapan yang ada langsung datang dari sumber syari’at Islam itu sendiri yakni Allah dan Rasul-Nya bahwa kewajiban yang pertama sebelum kewajiban lainnya atas seorang hamba adalah syahadatain, para ulama’ pun juga bersepakat bahwa bagi siapa saja yang telah mengikrarkan syahadatain sebelum baligh, tidak diperintahkan untuk memperbaharui ikrarnya kali kedua setelah memasuki masa bulugh, juga tidak mensyaratkan bagi walinya untuk mewakili atau mendikte setelah balighnya guna memperbaharui iktat syahadatiannya.[3]
Lebih dari pada itu semua tauhid adalah kunci awal memasuki dinul Islam, dan hal terakhir yang harus tertancap dalamkalbu terucap pada lisan sebelumpergi meninggalkan dunia ini menuju alam barzakh, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
من كان آخر كلامه لاإله إلا الله وجبت له الجنة
Artinya:
“Barang siapa yang kalimat terakhir yang diucapkan olehnya adalah laa ilaaha illallah wajib baginya masuk surga.”[4]
Setelah berbagai penelitian, pendalaman dan tela’ah panjang terhadap Kitabullah dan Sunnah yang dilakukan oleh para ulama’ mereka menyimpulkan bahwa tauhid terbagi menjadi 3 macam:
1.       Tauhid Rububiyah
Maksudnya adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dengan mengkhususkan-Nya dengan af’al yang Dia perbuat semisal; Menciptakan, Menghidupkan, Mematikan, Mengatur segala-galanya, maka tiada Tuhan selain Dia Subhanahu wa Ta’ala.
2.       Tauhid Uluhiyah
Juga disebut dengan tauhid ibadah karena uluhiyah juga bermakna beribadah hanya kepada Allah dengan penuh mahabbah/rasa cinta khou/rasa takut roja’/rasa harap, menjalankan segala perintah-Nya serta meninggalkan segala larangan-Nya. Maksudnya adalah pengistimewaan Allah Ta’ala yang bersinggungan dengan perbuatan para hamba dalam melaksanakan segala sesuatu yang disyari’atkan oleh-Nya.
3.       Tauhid Asma’ wa Sifat
Yaitu menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah tentang Dzat-Nya sendiri ataupun apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya seputar permasalahan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, serta mensucikan apa yang Dia dan Rasul-Nya sucikan juga sterilkan tentang Dzat-Nya dari segala macam aib maupun kekurangan.
Penyebutan kata Aqidah maupun Tauhid maknanya adalah tetap sama, meskipun penyebutannya secara nama ataqu istilah berbeda.
Pertakaan Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi dalam matan بتوفيق الله  dimaksudkan sebagai bentuk penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala, perendahan diri di hadapan-Nya, karena manusia tiada pernah sekalipun bahkan sedikit pun bisa menyucikan jiwanya dengan sendirinya kecuali karena limpahan rahmat yang diberikan oleh Al-Khaliq Sang Penciptanya. Karena lebih dalam lagi makna dari perkataan ‘bitaufiqillah’ adalah dengan masyiah/kehendak dari Allah, dengan datangnya daya kekuatan dari Allah semua upaya, usaha yang dijalankan oleh manusia bisa terlaksana, maka termsuk adab seorang yang alim adalah mengawali dan mengakhiri seluruh usahanya dengan mengucapkan ‘bitaufiqillah’.
"إن الله واحد لا شريك له" maknanya adalah satu dalam urusan kerububiyahan, satu dalam masalah keuluhiyahan, dan satu dalam permasalahan asma’ wa sifat, tiada yang menandinginya dan tiada yang menyukutuinya.
ولا شيئ مثله
Artinya: “Tidak ada sesuatu yang semisal dengan-Nya”
Mengutip dari firman-Nya Azza wa Jalla termaktub dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.”[QS.Asy-Syura:11]
Artinya: ”Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."[QS.Al-Ikhlash:4]
Artinya: “Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan dia (yang patut disembah)?[QS.Maryam:65]
Tiada tandingan yang menyeruapain-Nya, tiada bandingan yang menandingi-Nya, Tiada sesuatu apapun yang setara dengan-Nya sebesar apapun, setangguh, sekokoh, seperti apapun itu tiada mampu menyaingi dzat-Nya juga kekuasaan-Nya. Maka dari itu segala bentuk tamtsil (permisalan) dan tasybih (penyerupaan) dinafikan seluruhnya oleh Allah Azza wa Jalla, cukup dengan mengemukakan satu diantara dail-dalil naqli yang ada tersebut untuk menyanggah pendapat-pendapat batil para musyabbihah yang berkeyakinan bahwa Allah itu sebagaimana makhluq-Nya yang tidak membedakan antara Al-Khaliq dengan makhluq. Sementara sebaliknya pendapat para mu’aththillah/peniada yang mereka itu ghuluw dalam hal pensucian sampai-sampai mereka berani meniadakan apa-apa yang telah Allah tetapkan tentang permasalahan asma’ wa sifat, yang menurut anggapan mereka sebagai bentuk penolakan terhadap tasybih/penyerupaan.
Sehingga diantara dua kelompok yang ghuluw, yakni al-mu’aththillah yang ghuluw/ekstrem dalam pensucian serta mengaku telah meniadakan seluruh permisalan, begitu juga Al-Musyabbihah yang ghuluw/ekstrem dalam masalah penetapan melebihi ketetapan Allah, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah lebih tawassuth/bersifat tengah-tengah antara yang ghuluw dan kendor, antara yang ifroth maupun tafrith. Ahlus Sunnah menetapkan apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan bagi Dzat-Nya dan yang layak bagi kebesaran-Nya, tanpa ada unsur tasybih maupun ta’thil, sebagaimana batas ketentuan dalam firman-Nya:

Maka firman-Nya “laisa kamitslihi syaiun” terdapat peniadaan/penafian terhadap seluruh perkara tasybih, sementara firman-Nya “wahuwa Sami’ul Bashir” terdapat peniadaan/penafiaan terhadap seluruh perkara ta’thil, inilah pendapat sekaligus madzhab yang benar yang sekaligus diatasnyalah berjalan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sehingga benarlah apabila dikatakan:
المعطل يعبد عدما, والمشبه يعبد صنما, والموحد يعبد إلها واحدا فردا صمدا
ولا شيئ يعجزه
Artinya: “Tidak ada sesuatu apapun yang melemahkan-Nya.”
Dalam pembahasan ini terdapat penetapan atas kesempurnaan kekuasaan yang dimiliki oleh Allah Azza wa Jalla, ketetapan atas keumuman segala sesuatu yang diliptui oleh kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Ta’ala berfirman:
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [QS.Al-Maidah:120]
وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا
Artinya: “Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [QS.Al-Kahfi:45]
إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”[QS.Fathir:44]
Sedangkan makan qadir adalah yang sangat-sangat menguasai atau mampu, maka kemampuan dan kekuasaan Allah Ta’ala tida sesuatu apapun yang sanggup melemahkan-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu cukuplah Dia mengatakan “kun” fayakun maka jadilah apa yang Dia kehendaki.
Ø  إنه على ما يشاء قدير
Ada beberapa perkataan yang sekilas nampak baik namun jika diteliti lagi hakikatnya mengandung kecacatan, semisal perekataan tersebut, yang artinya: “Sesungguhnya Dia atas apa yang dikehendaki-Nya Maha Kuasa”. Pernyataan tersebut adalah salah dan tidak dibenarkan, karena ssecara logika saja berarti Allah Ta’ala terhadap apa yang tidak dikehendaki tidak Kuasa atas hal tersebut padahal semestinya (Kama yaliku lijalalihi) terhadap apa yang dikehendaki dan apa yang tidak dikehendaki oleh-Nya adalah pasti dan tetap Maha Kuasa atasnya. Akan tetapi pada intinya, sebagai sanggahan atas pernyataan tersebut bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah mengaitkan sifat Qudrah-Nya dengan Masyiah-Nya, namun cukup Dia menyebut, “Wahuwa ‘ala kulli syain  Qodir”. Lalu bagaimana dengan firman-Nya yang menyebutkan:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَثَّ فِيهِمَا مِنْ دَابَّةٍ وَهُوَ عَلَى جَمْعِهِمْ إِذَا يَشَاءُ قَدِيرٌ
Artinya: “Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata yang Dia sebarkan pada keduanya, dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya”[QS.Asy-Syura:29]
Ayat tersebut menyinggung tentang hari kebangkitan nanti pada Hari Kiamat sehingga yang dimaksudkan dari ayat tersebut adalh bahwasanya Dia Azza wa Jalla untuk mengumpulkan apa yang telah Dia tebarkan diantara langit dan bumi mulai dari hewan-hewan melata jika Dia menghendakinya pastilah Dia kumpulkan dan jikalau belum Dia kehendaki maka pastilah tidak akan terkumpulkan, karena Dia lah yang Maha Memiliki Kukuasaan tidak pernah diudzur dan tidak akan ditanya tentang apa yang Dia perbuat dan yang dikehendaki[5], Allah berfirman:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Artinya: “Dia tidak ditanya tentang apa yand diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.”[QS.Al-Anbiya’:23]
ولا إله غيره
Artinya: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia”
Yang dimaksudkan adalah tauhid uluhiyah, yaitu tiada sesembahan yang Haqq untuk disembah kecuali Allah Ta’ala, adapun bila sebatas dikatakan tiada sesembahan yang Haqq untuk disembah kecuali Allah Ta’ala saja, maka ini membuka kemungkinan akan kebenaran sesembahan yang diagungkan oleh orang-orang musyrik selain Allah Azza wa Jalla, maka yang tepat adalah hendaknya dikatakan Allah lah sesembahan yang Haqq sementara selain Dia adalah sesembahan yang bathil, sebagaimana firman-Nya:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
Artinya: “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah Dialah (Tuhan) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”[QS.Al-Hajj:62]
قديم بلا ابتداء, دائم بلا انتهاء
Artinya: “Maha Dahulu tanpa permulaan, Naha Abadi tanpa berkesudahan.”
Sebagaimana yang tertera dalam firman-Nya:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Dialah yang Awal dan yang Akhir yang Dlahir dan yang Bathin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”[QS.Al-Hadid:3]
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
أَنْتَ الأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَىْءٌ وَأَنْتَ الآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَىْءٌ
Artinya: “Ya Allah Engkaulah Tuhan Yang Maha Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu, Ya Allah Engkaulah Tuhan Yang Maha Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu”[6]
Dalam permasalahan ini Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah ingin menjelaskan bahsawasanya Allah Ta’ala terlepas dari segala kekurangan, semisal zaman yang telah Allah ciptakan namn Allah tidaklah terhimpun oleh zaman yang Dia ciptakan, begitu juga Dia telah menciptakan makan/tempat namun Allah tidaklah terhimpun oleh tempat/makan yang Dia ciptakan, karena Allah Ta’ala sebagai Al-Khaliq bagi zaman telah terlebih dahulu mendahului sebelum terciptakannya zaman dan Allah Ta’ala akan tetap Kekal tiada akhir meskipun pada suatu zaman dan akan berakhir pada suatu zaman sebab zaman adalah makhluq yang terbatas sementara Allah Ta’ala telah ada sebelum makhluq ciptaan-Nya. Wata’alallahu ‘Uluwan Kabiran
لا يفني ولا يبيد
Artinya: “Dia tidak akan fana dan tidak akan punah.”
Al-Fana’ dan al-baid adalah satu makna, karena Allah Ta’ala disifati dengan AL-Hayah yang Kekal terus menerus tiada akhir dan henti, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ
Artinya: “Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (Kekal) yang tidak mati”[QS.Al-Furqan:58]
Maka Allah terlepas dari kefanaan, Allah berfirman:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
Artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya”[QS.Al-Qashash:88]
Pada ayat yang lain Allah juga berfirman:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulian.”[QS.Ar-Rahman:26-27]
Sehingga milik-Nya lah segala kekelan dan bagi makhluq hanyalah kematian dan kebangkitan, karena pada mulanya makhluq itu hakikatnya adalah tiada kemudian diadakan dan diciptakan oleh Allah Ta’ala, kemudian setelah mereka diciptakan mereka akan dimatikan lagi lalu dibangkitkan kembali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Wallahu Ta’ala a’lam wa ‘ilmuhu ahkam wa atamm, wa sholawatu Rabbi ‘ala Nabiyyihi Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.




[1] Imam besar Al-Hafidz Al-‘Allamah Al-Muhaddits negeri-negeri Mesir Al-Faqih, banyak menguasai disiplin ilmu hadits dan fiqh kemudian banyak mengarang serta menyusun kitab berkaitan dengan ilmu-ilmu tersebut. beliau terkenal dengan ketsiqohannya, tsabat, faqih, alim, belum ada (pada zamannya) yang menggantikannya sehingga bagi siapa saja yang mentela’ah kitab-kitab karangan beliau niscaya akan mendapatinya sebagai sosok yang alim lagi luas ilmu pengetahuannya. Beliau wafat pada tahun 321 H rahimahullah Ta’ala. (Siyar A’lamin Nubala’:27/15-33)
[2] Diintisarikan dari kitab “Syarhul Aqidah Ath-Thahawiyah” karya Syaikh Ibnu Jibrin.
[3] Ibnu Abil ‘Izz, Syarhul Aqidah Thahawiyah, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1421 H, cet.XIII, Juz.I, hal.23
[4] Maktabah Syamilah, Mutunul Hadits, Musnad Ahmad, Ahmad bin Hambal, no: 22127, hal:443.
[5] Maktabah Syamilah, Tafsir Thabari: 21/538
[6] HR.Muslim, kitab: Dzikir doa taubat dan istighfar, bab: doa ketika akan tidur, no: 4888.

0 komentar:

Posting Komentar