Kisah Nabi Ya’qub AS Dan Putranya Yusuf
AS
Kisah ini termasuk salah satu kisah dari kisah-kisah yang sangat
mengagumkan, yang dijelaskan oleh Allah secara keseluruhan (lengkap), dan Allah
menjelaskannya tersendiri dalam suatu surat yang panjang dengan penjelasan yang
rinci dan gamblang, yang dapat dibaca dari tafsirnya. Di dalamnya Allah SWT
menjelaskan kisah Nabi Yusuf AS dari awal hingga akhir berikut sejumlan
perubahan dan peristiwa yang terjadi yang menyertainya. Berkenaan dengan kisah
tersebut, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda
kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang
bertanya.” (Yusuf: 7).
Dalam pembahasan ini, kami akan mengemukakan sejumlah faidah yang
besar yang dapat diambil dari penjelasan kisah tersebut seraya memohon
pertolongan kepada Allah Ta’ala.
Adapun sejumlah faidah yang dapat diambil di antaranya bahwa kisah
tersebut termasuk kisah yang sangat baik serta jelas. Karena di dalamnya
terdapat sejumlah perubahan dari suatu keadaan kepada keadaan berikutnya, dari
suatu cobaan kepada cobaan berikutnya, dari kehinaan kepada kemuliaan, dari
kedamaian kepada ketakutan dan sebaliknya, dari raja kepada budak dan
sebaliknya, dari perpecahan dan kekacauan kepada persatuan dan keharmonisan
serta sebaliknya, dari kebahagiaan kepada kesedihan dan sebaliknya, dari
kemakmuran kepada kelaparan serta sebaliknya, dari kesempitan kepada kelapangan
serta sebaliknya dan pencapaian hasil-hasil yang terpuji (baik). Maha Pemberi
Keberkahan Dzat yang telah menjelaskannya dan menjadikannya sebagai pelajaran
berharga bagi orang-orang yang berakal.
Faidah lainnya adalah berkenaan dengan ketepatan dalam menafsirkan
mimpi, dimana ilmu tentang penafsiran mimpi itu adalah suatu ilmu yang
dikaruniakan Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Pada umumnya yang menjadi
patokan di dalam menafsirkan mimpi ialah adanya kecocokan dengan kenyataan,
perumpamaan-perumpamaan dan persamaan dalam sejumlah sifat.
Kecocokan mimpi Nabi Yusuf AS dengan kenyataan, bahwa ia memimpikan
matahari, bulan serta sebelas buah bintang sujud kepadanya, dimana benda-benda
tersebut adalah hiasan langit yang bermanfaat. Begitu juga dengan para nabi,
para ulama dan orang-orang pilihan, dimana mereka adalah hiasan bumi.
Dengan sebab mereka, maka diperolehlah petunjuk dalam kegelapan,
seperti halnya diperoleh petunjuk dengan sebab benda-benda langit yang bersinar
serta bercahaya. Karena bapaknya dan ibunya Nabi Yusuf AS adalah pokok dan
saudara-saudaranya adalah cabang dari keduanya, tentunya sesuatu yang pokok
memiliki sinar dan ukuran yang jauh lebih besar daripada sesuatu yang menjadi
cabang.
Demikian juga halnya dengan mimpi Nabi Yusuf AS, dimana matahari
melambangkan ibunya atau bapaknya, bulan melambangkan bagian lain dari keduanya
serta sebelas buah bintang melambangkan saudara-saudaranya. Kecocokan mimpi
tersebut dengan kenyataan bahwa yang bersujud niscaya menaruh hormati kepada
yang disujudi dan yang disujudi niscaya memiliki kedudukan yang agung dan
terhormat. Mimpi tersebut menunjukkan, bahwa Nabi Yusuf AS niscaya akan
memiliki kedudukan yang agung dan terhormat di hadapan kedua orang tuanya serta
saudara-saudaranya. Tetapi hal tersebut tidak akan sempurna, kecuali ditempuh
sebab-sebab yang dapat menyampaikan kepadanya, misalnya: sejumlah ilmu,
amal-amal shalih dan penyeleksian dari Allah. Hal itu ditegaskan Allah dalam
firman-Nya, “Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi).”
(Yusuf: 6).
Faidah lainnya ialah kecocokan dalam menafsirkan mimpi dua orang
pemuda.
Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi seorang pemuda yang memeras anggur,
bahwa orang yang melakukan perbuatan demikian biasanya adalah seorang pelayan
dan perasan anggur yang dimaksud diperuntukkan bagi orang lain, dan seorang
pelayan biasanya menuruti perintah orang lain. Adapun tafsiran dari memberi
minum adalah memberi minum orang yang dilayaninya. Nabi Yusuf AS menafsirkan
mimpi itu berdasarkan kenyataan yang biasa berlaku.
Sedangkan berkenaan dengan mimpi seorang pemuda lainnya, yang
bermimpi membawa roti di atas kepalanya, lalu sebagiannya dimakan seekor
burung, bahwa pelakunya niscaya akan dibunuh dan disalib selama beberapa hari
hingga datang kepadanya seekor burung dan memakan otaknya.
Kemudian Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi seorang raja yang bermimpi
melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi
betina yang kurus-kurus serta tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir
gandum lainnya yang kering. Adapun kecocokan mimpi raja itu dengan kenyataan,
bahwa seorang raja terkait dengan urusan-urusan dan kemaslahatan rakyatnya,
dengan melakukan urusan-urusan yang mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya,
maka hal itu akan mendatangkan kemaslahatan baginya dan dengan melakukan
urusan-urusan yang mendatangkan kerusakkan bagi rakyatnya, maka hal itu akan
mendatangkan kerusakkan baginya. Itulah kecocokan tafsiran mimpi tersebut
dengan kenyataan. Begitu juga dengan tafsiran tentang tujuh butir gandum yang
hijau dan tujuh butir gandum lainnya yang kering, dimana hal itu berkaitan
dengan urusan-urusan kehidupan yang mendatangkan kesejahteraan dan
urusan-urusan kehidupan yang mendatangkan kesengsaraan. Sapi merupakan alat
untuk membajak tanah yang dapat mendatangkan hasil dengan menanaminya. Mimpi
tersebut terkait dengan sebab akibat.
Dengan demikian tafsiran dari mimpi melihat tujuh ekor sapi betina
yang gemuk-gemuk yang dimakan tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus, dan
tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir gandum lainnya yang kering, bahwa
tujuh butir gandum itu awalnya tumbuh subur, kemudian mengering dan hanya
memakan hasil yang didapatkan darinya, dimana tidak ada butir gandum yang
tersisa kecuali yang disimpan. Jika tidak ada gandum yang disimpan, niscaya
semuanya akan habis dimakan.
Jika dikatakan, “Dari manakah pernyataan Nabi Yusuf AS berikut
dikutip: “Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi
hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.” (Yusuf: 49).
Sebagian ahli tafsir berpendapat, bahwa pernyataan itu merupakan
tambahan dari Nabi Yusuf AS terhadap wahyu yang diwahyukan kepadanya dalam
menafsirkan mimpi tersebut?
Jawabannya, bahwa masalahnya bukanlah demikian, tetapi Nabi Yusuf AS
mengutipnya dari mimpi raja tersebut, karena musim kemarau itu hanya
berlangsung selama tujuh tahun saja dan setelahnya akan datang tahun yang
agung, yang subur dan banyak membawa keberkahan (musim hujan) serta
menghilangkan musim kemarau yang dahsyat yang tidak mungkin hilang dengan musim
subur (hujan) yang biasa, tetapi harus dengan musim hujan yang luar biasa.
Penafsiran tersebut sangat gamblang, yang dipahami dari jumlah bilangan yang
terdapat di dalam pernyataan raja yang berkenaan dengan mimpinya.
Faidah lainnya, bahwa dalam kisah tersebut terkandung sejumlah dalil
dan bukti nyata atas kenabian Muhammad SAW, dimana Allah telah menceritakan
kisah itu kepadanya secara rinci dan jelas yang sesuai dengan kenyataan yang
dimaksud secara keseluruhan, padahal Nabi Muhammad SAW tidak pernah membaca
kitab-kita suci umat-umat terdahulu dan tidak juga belajar kepada seseorang;
sebagaimana yang diberitahukannya kepada kaumnya, dan beliau sendiri adalah
orang tidak dapat menulis dan membaca. Karena itu, maka Allah SWT berfirman,
“Demikian itu (adalah) di antara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka
memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang
mengatur tipu daya.” (Yusuf: 102)
Faidah lainnya, bahwa wajib bagi seseorang menghindari sebab-sebab
yang mendatangkan keburukan dan menyembunyikan sesuatu yang dikhawatirkan dapat
mendatangkan kemadharatan. Hal tersebut merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS kepada
Nabi Yusuf AS, “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada
saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.” (Yusuf:
5)
Faidah lainnya adalah keharusan mengingatkan seseorang tentang
sesuatu yang dibenci; yang disampaikan dengan jujur dan sebagai nasehat baginya
atau bagi yang lainnya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS, “… maka
mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.” (Yusuf: 5)
Faidah lainnya, bahwa ni’mat Allah yang dikaruniakan kepada
seseorang merupakan ni’mat pula terhadap orang yang memiliki hubungan dengannya
serta berkaitan dengan anggota keluarganya, kerabatnya dan sahabat-sahabatnya.
Karena itu, sudah semestinya ia memelihara hubungan dengan mereka serta
meliputi mereka dengan ni’mat itu. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala, “… dan
disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub.” (Yusuf: 6)
Yakni sebab ni’mat yang dikaruniakan kepadamu. Karena itu, ketika
ni’mat yang diperoleh Nabi Yusuf AS mencapai tingkat kesempurnaan, maka
keluarga Nabi Ya’qub AS pun memperoleh kemuliaan, kedudukan yang terhormat,
kebahagiaan, terbebas dari penderitaan dan memperoleh hal-hal yang disukai
sebagaimana dijelaskan oleh Allah pada akhir kisah.
Faidah lainnya, bahwa pencapaian ni’mat-ni’mat besar, baik yang
bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduniaan harus didahului dengan sebab-sebab
dan langkah-langkah yang akan mengantarkan kepada pencapaian ni’mat tersebut.
Karena Allah adalah Maha Bijaksana dan Ia memiliki ketentuan yang tidak akan
berubah. Allah telah menetapkan bahwa orang yang mencari kedudukan yang tinggi,
niscaya ia tidak akan dapat mencapainya, kecuali dengan sebab-sebab yang
bermanfaat, khususnya ilmu-ilmu yang bermanfaat yang disertai dengan akhlak
yang terpuji dan amal shalih.
Karena itu, Nabi Ya’qub AS mengetahui bahwa keberhasilan Nabi Yusuf
AS dalam mencapai kedudukan yang terhormat serta derajat yang tinggi yang
menyebabkan bapaknya, ibunya serta saudara-saudaranya menaruh rasa hormat
kepadanya, niscaya tidak terlepas dari pertolongan Allah yang memberi kemudahan
kepada Nabi Yusuf AS dalam melakukan langkah-langkah yang mengantarkannya
kepada pencapaian kedudukan tersebut. Karena itulah, maka Allah SWT berfirman,
“Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya
kepadamu sebagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya
kepadamu.” (Yusuf: 6)
Faidah lainnya, bahwa keadilan merupakan sesuatu yang dituntut dalam
seluruh urusan; baik yang kecil maupun yang besar seperti: dalam perlakuan
penguasa terhadap rakyatnya, perlakuan kedua orang tua terhadap anak-anaknya,
penunaian hak-hak suami istri dalam hal kasih sayang, pengutamaan dan
lain-lain. Penegakan keadilan dalam urusan tersebut niscaya akan mendorong
tegaknya urusan yang kecil dan yang besar, sehingga seorang hamba mendapatkan
apa yang didambakannya. Sedang jika keadilan tidak ditegakkan, niscaya keadaan
akan mengalami kehancuran dan seorang hamba akan mendapatkan apa yang
dibencinya tanpa disadarinya. Karena itu, maka ketika Nabi Ya’qub AS
mengutamakan kasih sayang kepada Nabi Yusuf AS serta mengarahkan mukanya (perhatiannya)
kepadanya, maka saudara-saudaranya menunjukkan sikap yang menyebabkan bapak dan
ibu mereka harus menerima sesuatu yang tidak disukai.
Faidah lainnya, bahwa merupakan keharusan untuk mengingatkan akibat
buruk yang ditimbulkan dari perbuatan dosa. Karena sering kali perbuatan suatu
dosa diikuti sejumlah perbuatan dosa-dosa lainnya dan keburukkan yang beruntun
berkaitan dengan perbuatan dosa yang pertama. Perhatikanlah kesalahan yang
dilakukan saudara-saudara Nabi Yusuf AS ketika mereka bermaksud memisahkan dia
dengan bapaknya yang tergolong dosa besar, dimana mereka melakukan tipu daya
setelah melakukan sejumlah tipu daya lainnya dan mereka melakukan kebohongan
berulang kali serta mendatangi bapak mereka sambil membawa sebuah baju yang
telah dilumuri darah.
Sifat mereka terlihat ketika mereka datang kepada bapak mereka di
sore hari sambil menangis dan dapat dipastikan bahwa pembicaraan tentang
masalah tersebut saling berantai serta bercabang-cabang, bahkan terkadang ia
dikaitkan dengan keinginan mereka berkumpul kembali dengan Nabi Yusuf AS.
Padahal ketika mereka membahas masalah itu, maka pembahasan itu penuh rekayasa
dan kebohongan seiring dengan berlanjutnya pengaruh musibah tersebut terhadap
Nabi Ya’qub AS, bahkan terhadap Nabi Yusuf
AS.
Karena itulah, sudah semestinya seseorang berhati-hati serta merasa
takut akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan dosa, khususnya
perbuatan dosa yang menyebabkan perbuatan-perbuatan dosa yang berikutnya.
Sebaliknya dengan sebagian dari perbuatan taat, meski hanya melakukan suatu
perbuatan taat, tetapi manfaat serta keberkahannya berantai atau berkelanjutan
hingga diikuti oleh perbuatan-perbuatan taat yang lainnya baik yang dilakukan
oleh pelakunya maupun orang lain. Itulah pengaruh keberkahan yang sangat besar
yang dikaruniakan Allah kepada seseorang berkenaan dengan ilmu dan amalnya.
Faidah lainnya, bahwa pelajaran berharga bagi seorang hamba
berkenaan dengan pencapaian kesempurnaan di akhir itu tidak ada hubungan dengan
kekurangan pada permulaan. Karena putera-putera Nabi Ya’qub AS pun sejak awal
telah melakukan sejumlah perbuatan dosa yang bermacam-macam, tetapi urusan
mereka berakhir dengan taubah yang sesungguhnya, pengakuan kesalahan dengan
sepenuh hati, mendapatkan pengampunan dari Nabi Yusuf AS serta bapak mereka
atas dosa yang dilakukan mereka serta mendo’akan mereka supaya mendapatkan
ampunan dan rahmat Allah. Jika seorang hamba memaafkan sesuatu hak, niscaya
Allah akan lebih memaafkan, dan Allah adalah sebaik-baiknya pemberi rahmat dan
ampunan. Karena itu, perkataan yang tepat bahwa Allah telah menjadikan mereka
sebagai nabi karena telah diampuninya dosa mereka di masa lalu sehingga keadaan
mereka bersih seperti semula, serta merujuk firman Allah Ta’ala, “Katakanlah:
“Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya.” (Ali
‘Imran: 84), yakni putra-putra Nabi Ya’qub AS yang jumlahnya sebelas orang dan
keturunan mereka.”
Di antara yang menguatkan keterangan di atas, bahwa di dalam mimpi
Nabi Yusuf AS, mereka dilambangkan dengan sebelas bintang yang memiliki cahaya
yang dapat dijadikan petunjuk, dan hal itu termasuk salah satu sifat dari
sifat-sifat para nabi. Seandainya mereka tidak menjadi nabi, nicaya mereka
menjadi ulama yang kharismatik.
Faidah lainnya, bahwa apa yang dikaruniakan Allah SWT kepada Nabi
Yusuf AS berupa ilmu, kesabaran, akhlak yang sempurna, menyeru supaya beribadah
kepada Allah Ta’ala dan mentaati perintah agama-Nya, mengampuni saudara-saudaranya
yang bersalah dengan pengampunan yang membuat mereka merasa dekat dengannya dan
menyempurnakan hal itu dengan mengabari mereka bahwa ia tidak akan mencerca
mereka setelah adanya pengampunan tersebut, kebaktiannya yang besar kepada
bapak dan ibunya, kebaikkannya kepada saudara-saudaranya dan juga kebaikannya
kepada mahluk secara umum, sebagaimana hal itu dijelaskan dalam biografinya dan
kisahnya.
Faidah lainnya, bahwa sebagian keburukan lebih rendah dari sebagian
yang lainnya, dan melakukan keburukan yang lebih ringan akibatnya lebih utama
daripada melakukan keburukan yang lebih berat kemadharatannya, karena itu
ketika saudara-saudara Nabi Yusuf AS berkata, “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia
ke suatu daerah (yang tak dikenal).” (Yusuf: 9), maka salah seorang dari mereka
berkata, “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur
supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.”
(Yusuf: 10). Perkataannya itu lebih baik daripada perkataan mereka dan lebih
ringan akibatnya daripada dosa besar (pembunuhan) yang akan dilakukan
saudara-saudaranya, dan itu termasuk dalam sejumlah sebab yang telah ditetapkan
Allah SWT kepada Nabi Yusuf AS dalam mengantarkannya kepada tujuan yang
dikehendaki.
Faidah lainnya, bahwa jika sesuatu berpindah tangan serta menjadi
bagian dari sejumlah harta dan para pelakunya tidak mengetahui bahwa hal itu
tidak sesuai dengan hukum syara’ (agama), maka tidak berdosa bagi orang yang
bahagia dengan menjual, membeli, mempekerjakan, mengambil manfaat, atau
mempergunakannya, karena Nabi Yusuf AS pun dijual oleh saudara-saudaranya,
padahal penjualan itu diharamkan atas mereka. Ia dibeli oleh sekelompok
orang-orang musafir, dan mereka menduga, bahwa ia adalah budak milik
saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang menjualnya, kemudian mereka membawanya pergi
ke Mesir dan menjualnya di Mesir, sehingga ia tinggal di rumah tuannya dan
Allah menyebutnya dengan sayyid (tuan) sebagai budak dan di hadapan mereka ia
adalah seorang budak yang mulia. Allah menyebut para pembeli yang pertama
dengan sayyarah (sekelompok orang-orang musafir) dan penjualannya di Mesir
(saudara-saudaranya) dengan mu’amalah (transaksi), sebagaimana kami sebutkan.
Faidah lainnya berkenaan dengan peringatan akan bahayanya khalwat
(menyendiri) dengan wanita lain (bukan muhrim), khususnya dengan wanita yang
dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, danperingatan akan bahaya cinta yang
dikhawatirkan mendatangkan kemadharatan. Karena isteri Al-Aziz (sebutan bagi
raja di Mesir) menghadapi bahaya itu karena menyendiri dengan Nabi Yusuf AS
serta cintanya yang mendalam kepadanya yang menyebabkannya lupa diri sehingga
ia menggodanya, lalu ia berdusta kepada Al-Aziz dan memintanya agar
memasukannya ke dalam penjara dalam waktu yang lama.
Faidah lainnya, bahwa ada keinginan Nabi Yusuf melakukan perbuatan
keji itu kemudian Allah cegah dengan cahaya iman yang dimasukan ke dalam
hatinya sehingga mendorongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan
salah satu dorongan dari dorongan-dorongan nafsu yang mendorong kepada
kejelekan yang merupakan tabiat manusia. Jika keinginan berbuat maksiat datang,
sedangkan tidak ada cahaya iman dan perasaan takut kepada Allah yang dapat
mencegahnya, niscaya perbuatan maksiat itu akan terlaksana. Jika seorang mukmin
memiliki iman yang sempurna dan dorongan tabiat itu datang, niscaya imannya
yang murni dan kuat dapat mencegahnya dari dorongan tabiat itu, meski dorongan
itu kuat. Nabi Yusuf AS termasuk orang yang memiliki kedudukan yang tinggi
dalam masalah tersebut. Allah Ta’ala berfirman, “… andaikata dia tidak melihat
tanda (dari) Rabbnya.” (Yusuf: 24), sebagai petunjuk dari Allah: “Demikianlah,
agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf
itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
Jadi hal tersebut terjadi, karena pencegahan Allah Ta’ala kepadanya,
kekuatan imannya dan keikhlasannya, dimana Allah menyelamatkannya dari
perbuatan dosa, sehingga ia termasuk orang yang takut kepada Rabbnya dan
memelihara dirinya dari keinginan hawa nafsunya. Ia akan menjadi pimpinan
tertinggi dari tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah
pada hari tidak ada perlindungan selain perlindungan-Nya. Nabi SAW menyebutkan
ketujuh golongan manusia tersebut dalam sabdanya di antaranya ialah: “seorang
laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan lagi
cantik, lalu ia menjawab, “Sesungguhnya aku merasa takut kepada Allah.” (HR.
Al-Bukhari;660, 1423 dan 6806 dan Muslim;1031: 91 dari hadits Abu Hurairah RA)
Jika tidak ada yang mencegahnya, niscaya istri Al-Aziz akan
terus-menerus menggodanya dan keinginan Nabi Yusuf AS untuk menuruti keinginan
hawa nafsunya akan terlaksana. Tetapi keinginan itu tidak terlaksana karena
melihat tanda kekuasaan Rabbnya.
Faidah lainnya, bahwa orang yang hatinya diliputi oleh keimanan,
disinari sinar ma’rifat kepada Rabbnya, diterangi cahaya keimanan yang memancar
di dalamnya dan keikhlasan kepada Allah dalam seluruh perilakunya, niscaya
Allah akan memeliharanya dengan cahaya keimanan dan keikhlasannya dari berbagai
kejahatan, kekejian serta sebab-sebab yang dapat menjerumuskannya ke dalam
perbuatan maksiat sebagai balasan atas keimanan serta keikhlasannya. Allah
memberikan alasan dipalingkannya Nabi Yusuf AS dari keinginan hawa nafsunya,
sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba
-hamba kami yang terpilih.” (Yusuf: 24) Karena orang yang ingin diselamatkan
serta dijauhkan Allah dari perbuatan buruk, hendaklah ia ikhlas kepada-Nya.
Faidah lainnya, bahwa diwajibkan atas seseorang ketika menghadapi
cobaan di suatu tempat yang di dalamnya terdapat fitnah dan sebab-sebab yang
mendorong kepada kemaksiatan supaya melarikan diri ke suatu tempat yang
memungkinkannya dapat terhindar dari keburukan itu, sebagaimana Nabi Yusuf AS
melarikan diri ke pintu, sehingga istri Al-Aziz menarik bajunya ketika beliau
membelakanginya.
Faidah lainnya, bahwa indikasi-indikasi dapat dipakai sebagai sebuah
petunjuk dalam memutuskan suatu kasus ketika terjadi kesamaran dalam tuduhan
(dakwaan), sebagaimana yang terjadi pada Nabi Yusuf AS, dimana seorang saksi
memberikan kesaksian atau menetapkan hukum terhadap Nabi Yusuf AS dan istri
Al-Aziz berdasarkan sebuah indikasi yang ada, seraya berkata, “Jika baju
gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang
yang dusta.” (Yusuf: 26) Sehingga ketetapan hukumnya sesuai dengan kebenaran.
Dalam kasus Nabi Yusuf AS dengan saudaranya (Bunyamin), bahwa di
antara indikasi yang dijadikan sebagai petunjuk di dalam menetapkan hukum ialah
keberadaan piala (gelas minum) di dalam karung saudaranya, sehingga hukum pun
ditetapkan berdasarkan indikasi tersebut.
Faidah lainnya, bahwa Nabi Yusuf AS terkenal memiliki kesempurnaan
lahir dan bathin. Kesempurnaan lahirnya bahwa ia memiliki rupa yang sangat
tampan yang menyebabkan istri Al-Aziz mencintainya secara mendalam dan
mendorongnya untuk menggodanya terus-menerus, dan ketika para wanita mencela
dan mencemoohkannya, maka ia pun mengundang mereka, seperti tertera dalam
firman Allah SWT, “…diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi
mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau
(untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah
(nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu
melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)nya, dan mereka melukai (jari)
tangannya dan berkata, “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya
ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.” (Yusuf: 31)
Sedang kesempurnaan bathinnya yang dimaksud, bahwa ia memiliki sifat
‘iffah (pemeliharaan diri dari segala sesuatu yang tidak baik) yang besar,
sehingga meski banyak sekali penyebab yang dapat menjerumuskannya ke dalam
keburukan, tetapi karena cahaya keimanannya yang terang benderang dan
keikhlasannya yang kuat, yang keduanya hanya bersatu dengan keutamaan dan tidak
bersatu dengan kehinaan. Istri Al-Aziz menjelaskan kepada para wanita yang
diundangnya tentang dua sifat yang ada pada Nabi Yusuf AS, dimana ketika ia
melihat kesempurnaan lahirnya (ketampanannya) yang telah diketahui yang tidak
ditemukan pada manusia lainnya, seraya berkata, “Itulah dia orang yang kamu
cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia
untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak.” (Yusuf: 32)
Selanjutnya ia pun berkata, “Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah
yang menggodanya untuk menundukan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia
termasuk orang-orang yang benar.” (Yusuf: 51)
Faidah lainnya ialah berkenaan dengan sikap Nabi Yusuf AS yang lebih
memilih penjara daripada berbuat maksiat.
Begitulah sikap yang seharusnya diambil jika seseorang menghadapi
dua ujian dan harus memilih salah satu dari dua ujian tersebut: antara dipaksa
berbuat maksiat atau disiksa dengan siksaan dunia, hendaklah ia memilih siksaan
dunia yang di dalamnya memiliki sejumlah pahala:
1.
Pahala
dari segi keberpihakannya kepada keimanan dan bersedia menerima siksaan dunia.
2.
Pahala
dari segi keharusan memelihara keikhlasan dan kesucian diri atas seorang
mukmin, dan hal itu termasuk jihad di jalan Allah.
3.
Pahala
dari segi musibah (ujian) yang menimpanya dan penderitaan yang dialaminya
akibat siksaan dunia tersebut.
Maha Suci Dzat Yang telah memberikan sejumlah ni’mat melalui
ujian-Nya dan Maha Penyayang terhadap para kekasih-Nya, dimana hal tersebut
merupakan tanda keimanan dan ciri kebahagiaan.
Faidah lainnya, bahwa diwajibkan kepada seorang hamba untuk
berlindung kepada Rabbnya ketika ia menghadapi sebab-sebab yang dapat
mendorongnya kepada perbuatan maksiat dan membebaskan diri dari cengkraman dan
kekuatannya (perbuatan maksiat). Hal itu merujuk perkataan Nabi Yusuf AS, “Dan
jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung
untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang
bodoh.” (Yusuf: 33)
Seorang hamba yang mendapat petunjuk, niscaya ia akan memohon
pertolongan kepada Rabbnya supaya dapat menghindari kemaksiatan serta
sebab-sebabnya, sebagaimana ia juga akan memohon pertolongan kepada-Nya dalam
melakukan ketaatan dan kebaikan. Sesungguhnya Allah pasti akan mencukupi
orang-orang yang berserah diri kepada-Nya.
Faidah lainnya, bahwa ilmu dan akal yang sehat niscaya akan
menggiring pemiliknya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejahatan. Sedang
kebodohan akan menggiring pemiliknya kepada perbuatan yang sebaliknya. Hal itu
merujuk perkataan Nabi Yusuf
AS , “… tentu aku akan cenderung
untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang
bodoh.” (Yusuf: 33)
Yakni orang-orang yang bodoh akan urusan-urusan agama, dan
orang-orang yang bodoh akan hakikat yang bermanfaat dan hakikat yang
menimbulkan kemadharatan.
Faidah lainnya, bahwa sebagaimana telah diwajibkan atas seseorang
agar beribadah kepada Rabbnya dalam keadaan lapang, maka diwajibkan pula
atasnya agar beribadah kepada-Nya dalam keadaan sempit. Nabi Yusuf AS
senantiasa berdo’a kepada Allah, bahkan ketika ia dimasukan ke penjara, maka ia
pun tetap memelihara kebiasaannya tersebut dan mengajak orang-orang yang
berhubungan dengannya dari para penghuni penjara untuk melakukannya serta
mengajak dua orang pemuda untuk mengesakan Allah dan melarang keduanya
menyekutukan-Nya.
Di antara kesempurnaan pandangan dan ilmunya, bahwa ketika ia
melihat pada kedua pemuda itu terdapat sambutan (respon) terhadap ajakannya di
saat keduanya membutuhkannya untuk menafsirkan mimpi keduanya, seraya keduanya
berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena'birkan
mimpi).” (Yusuf: 36)
Nabi Yusuf AS melihat hal itu sebagai peluang, dan ia mengajak
keduanya ke jalan Allah sebelum menafsirkan mimpi keduanya supaya tercapai
tujuannya yang dimaksud. Kemudian ia menjelaskan kepada keduanya, bahwa sesuatu
yang telah menyampaikannya kepada kesempurnaan dan pengetahuan dalam
menafsirkan mimpi keduanya adalah imannya, tauhidnya dan pengabaiannya kepada
agama orang-orang musyrik. Itulah seruan yang disampaikan Nabi Yusuf AS kepada
keduanya pada saat itu. Nabi Yusuf AS mengajak keduanya mengobrol dan
menjelaskan kepada keduanya mengenai tauhid yang benar serta
kewajiban-kewajibannya dan mencela kemusyrikan dan pengharaman-pengharamannya.
Faidah lainnya, bahwa Nabi Yusuf AS memulai dengan hal yang paling
penting dan dilanjutkan dengan hal penting yang berikutnya,
Jika seorang pemberi fatwa ditanya, sedangkan penanya lebih
membutuhkan penjelasan mengenai sesuatu di luar pertanyaannya, hendaklah ia
menjelaskan kepada penanya hal yang lebih dibutuhkannya sebelum ia menjawab
pertanyaannya, dan hal itu adalah tanda kecerdasan dan kejeniusan seorang guru
dan ciri bimbingan dan ajarannya itu baik. Karena Nabi Yusuf AS pun ketika
ditanya oleh dua orang pemuda mengenai tafsiran mimpi keduanya, maka ia melihat
kebutuhan keduanya kepada tauhid dan iman lebih penting daripada kebutuhannya
kepada sesuatu yang lain.
Faidah lainnya, bahwa orang yang mengahadapi sesuatu yang dibenci
dan mendatangkan kesulitan tidak menjadi soal baginya meminta tolong kepada
orang yang memiliki kesanggupan untuk membebaskannya baik pembebasannya itu
dilakukannya langsung atau memberitahukan caranya, hal itu tidaklah tercela dan
mengadu kepada makhluk tidaklah terlarang. Hal itu adalah kebiasaan yang
berlaku di masyarakat, dimana sebagian orang meminta tolong kepada sebagian
lainnya. Karena itulah, maka Nabi Yusuf AS berkata kepada pemuda yang
diperkirakan akan bebas, “Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.” (Yusuf: 42)
Faidah lainnya, bahwa diharuskan bagi seorang pengajar dan seorang
da’i yang mengajak manusia ke jalan Allah SWT supaya melakukan kegiatan
mengajarnya dan dakwahnya dengan penuh keikhlasan, dan tidak menjadikannya
sebagai perantara untuk mendapatkan harta, kedudukan atau manfaat, dan tidak
boleh menghentikan kegiatan mengajarnya dan dakwahnya, jika orang yang bertanya
tidak melaksanakan kewajiban yang telah diperintahkannya. Karena Nabi Yusuf AS
pun ketika berpesan kepada salah seorang pemuda dari kedua pemuda tersebut yang
diyakininya akan selamat agar menerangkan keadaannya kepada tuannya, tetapi ia
tidak menerangkannya karena lupa. Ketika kebutuhan raja serta para pembesar
kerajaan untuk bertanya kepada Nabi Yusuf AS (tentang tafsiran mimpi raja)
mendesak maka mereka mengutus pemuda tersebut. Kemudian pemuda itu
mendatanginya dan meminta fatwanya mengenai tafsiran mimpi raja tersebut. Nabi
Yusuf AS tidak mencela dan memakinya, bahkan ia juga tidak bertanya kepadanya:
“Kenapa kamu tidak menerangkan keadaanku kepada tuanmu”, dan ia menafsirkannya
dengan tafsiran yang sempurna dengan tinjauan dari berbagai segi.
Faidah lainnya, bahwa wajib bagi orang yang ditanya ketika menjawab
pertanyaan untuk menunjukkan penanya kepada sesuatu yang bermanfaat bagi
penanya yang berkaitan dengan pertanyaannya serta membimbingnya ke jalan yang
bermanfaat bagi penanya dalam urusan agamanya dan urusan dunianya. Hal itu
menunjukan kesempurnaan nasehatnya, kecerdasan akalnya dan kebaikan
bimbingannya. Karena Nabi Yusuf AS pun tidak membatasi penafsiran mimpi raja
dengan hanya menafsirkannya dari satu segi melainkan dari berbagai segi. Bahkan
ia juga telah mengisyaratkan kepada mereka (raja dan para pembesar kerajaannya)
mengenai tindakan yang harus mereka ambil pada tahun penghujan ketika itu,
yaitu harus meningkatkan hasil pertanian sebanyak mungkin, merawat tanaman
dengan baik dan menggiatkan penarikan pajak.
Faidah lainnya, bahwa tidak tercela bagi seseorang untuk menolak
tuduhan atas dirinya, bahkan hal itu diperintahkan, seperti halnya Nabi Yusuf
AS menolak keluar dari penjara, sehingga jelas bagi mereka kebersihan dirinya
dari tuduhan tersebut dengan pernyataan para wanita yang telah memotong
jari-jari tangan mereka (karena melihat ketampanannya).
Faidah lainnya adalah berkenaan dengan keutamaan ilmu, termasuk di
dalamnya: ilmu syara’ (agama) serta ketentuan hukum-hukumnya, ilmu tafsiran
mimpi, ilmu ekonomi dan pendidikan serta ilmu politik, karena Nabi Yusuf AS pun
berhasi mendapatkan kedudukan yang tinggi di dunia dan di akhirat disebabkan
ilmunya yang bermacam-macam.
Ilmu tafsiran mimpi dapat menjadi pelengkap fatwa, tetapi tidak
diperbolehkan bagi seseorang memberikan fatwa melalui penafsiran mimpi sebelum
mengetahui ilmunya, sebagaimana halnya tidak diperbolehkan baginya memberikan
fatwa dalam penetapan hukum tanpa didasari ilmu. Karena itu Allah SWT menyebut
ilmu tafsiran mimfi dalam surat
tersebut dengan Fatwa.
Faidah lainnya, bahwa tidak dilarang bagi seseorang memberitahukan
sifat-sifat kesempurnaan yang terdapat pada dirinya seperti: ilmu dan sifat
kesempurnaan lainnya, jika di dalamnya terdapat kemaslahatan dan menjauhi
kebohongan, dan tidak dimaksudkan untuk riya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Yusuf AS ,
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Demikian juga kekuasaan tidak dilarang jika orang yang diberi
kekuasaan dapat melaksanakan tugas yang diembannya seperti: menegakkan
ketentuan-ketentuan hukum syara’ dan memberikan hak-hak kepada orang-orang yang
berhak menerimanya. Tidak dilarang pula memintanya bagi seseorang yang
digolongkan ahli (cakap) dan lebih layak daripada yang lainnya. Adapun orang
yang dilarang memintanya adalah orang yang tidak ahli atau masih terdapat orang
yang lebih pantas atau sama dengannya atau dengan kekuasaan itu ia tidak mau menunaikan
perintah Allah, melainkan hanya ingin menjadi pemimpin serta mengumpulkan harta
dan memperkaya diri.
Faidah lainnya, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Luas (rahmat-Nya),
Maha Pemurah dan Maha Mulia, dimana Dia telah mengkaruniakan kebaikan dunia dan
kebaikan akhirat kepada hamba-Nya. Kebaikan akhirat memiliki dua sebab serta
tidak ada sebab yang ketiganya :
1.
Beriman
terhadap segala sesuatu yang telah Allah wajibkan untuk beriman kepadanya.
2.
Ketakwaan
yaitu mengerjakan segala perintah syara’ dan menjauhi larangannya.
3.
Kebaikkan
akhirat niscaya lebih baik daripada pahala dunia dan kerajaannya.
4.
Diwajibkan
atas seorang hamba untuk menyeru dirinya dan mendorongnya untuk mencintai
pahala dari Allah Ta’ala, dan tidak membiarkannya larut dalam kesedihan saat
melihat kelezatan serta kemewahan dunia yang tidak mampu diraihnya. Bahkan
harus mendorongnya untuk mendapatkan pahala akhirat untuk meringankan
kesedihannya karena tidak berhasil meraih kesenangan dunia. Hal itu merujuk
perkataan Nabi Yusuf AS, “Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik,
bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” (Yusuf: 57)
Faidah lainnya, bahwa pengumpulan harta dengan maksud untuk
mendatangkan kelapangan kepada manusia (masyarakat), tanpa menimbulkan
kemadharatan pada mereka, niscaya hal itu tidak dilarang, bahkan diperintahkan.
Karena Nabi Yusuf AS pun memerintahkan kepada mereka (raja dan para
pembesarnya) supaya mengumpulkan harta dan makanan pada musim penghujan sebagai
persiapan menghadapi musim kemarau panjang sehingga dengan hal itu akan
diperoleh sejumlah kebaikan.
Faidah lainnya adalah berkenaan dengan kebijakan Nabi Yusuf AS yang
tepat; ketika ia menetapkan kebijakan atas sejumlah lumbung pertanian yang
tersebar di berbagai daerah di Mesir dari pelosok yang satu ke pelosok yang
lainnya, dimana ia membangkitkan sektor pertanian sehingga diperoleh hasil
pertanian yang melimpah. Hal itu mendorongan penduduk dari sejumlah pelosok
mendatangi Mesir. Di antara keadilan, kebijakan serta kekhawatirannya bahwa hasil
pertaniaan itu akan dipermainkan para pedagang, sehingga ia tidak menakar bagi
seseorang, kecuali sesuai dengan ukuran kebutuhannya yang khusus (pokok) atau
kurang dari kubutuhan tersebut dan ia tidak memberi tambahan kepada setiap
orang yang datang melibihi takaran seberat beban bawaan seekor unta. Kemudian
di dalam kenyataannya, bahwa Nabi Yusuf AS tidak memberikan takaran kepada
penduduk negeri, kecuali takaran yang kurang dari takaran tersebut, karena
terlalu banyaknya mereka yang datang kepadanya.
Faidah lainnya adalah disyari’atkannya berlaku baik terhadap tamu,
karena di antara kebiasaan para rasul adalah memuliakan tamu. Hal itu merujuk
perkataan Nabi Yusuf AS , “… tidakkah kamu melihat bahwa aku
menyempurnakan sukatan dan aku adalah sebaik-baik penerima tamu.” (Yusuf: 59)
Faidah lainnya, bahwa berburuk sangka yang dibarengi dengan adanya
alasan yang menyebabkan timbulnya prasangka tersebut tidak dilarang dan tidak
diharamkan. Karena Nabi Ya’qub AS pun telah berkata kepada putra-putranya,
“Bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku
telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu.” (Yusuf: 64). Di
dalam yang lain ia berkata, “Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik
perbuatan (yang buruk) itu.” (Yusuf: 83)
Nabi Ya’qub AS mengetahui akibat buruk yang akan terjadi di akhir,
meskipun mereka berjanji tidak akan menyia-nyiakan saudaranya (Bunyamin).
Pernyataan tersebut timbul, karena sebelumnya mereka telah menunjukkan perilaku
yang membuat bapak mereka (Nabi Ya’qub AS) harus melontarkan pernyataan
tersebut, dan hal itu tidak termasuk perbuatan tercela.
Faidah lainnya, bahwa menggunakan sejumlah sebab yang dapat
memalingkan mata dan anggota badan yang lainnya dari perbuatan yang dibenci
atau membuka mata setelah sebelumnya menutupnya adalah tidak dilarang, meski
sesuatu itu tidak akan terjadi kecuali menurut qadha dan qadar Allah, karena
menggunakan sebab-sebab adalah bagian dari qadha dan qadar Allah. Hal tersebut
merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS, “Hai anak-anakku janganlah kamu
(bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu
gerbang yang berlain-lain.” (Yusuf: 67)
Faidah lainnya, bahwa dibolehkan menggunakan strategi atau taktik
yang dapat menyampaikan kepada hak-hak dan ilmu mengenai strategi atau taktik
yang halus yang menyampaikan kepada tujuan terpuji seorang hamba. Adapun
strategi atau taktik yang dimaksudkan untuk menggugurkan suatu kewajiban atau
melakukan perbuatan yang diharamkan, maka hal tersebut diharamkan sama sekali
dan tidak ada toleransi terhadapnya.
Faidah lainnya, bahwa bagi orang yang menyangka orang lain melakukan
suatu perbuatan dan ia merasa tidak berkenan menjelaskannya, hendaklah ia
menjelaskannya dengan menggunakan kemungkinan-kemungkinan; baik dalam bentuk
perkataan maupun perbuatan yang dapat menghindarkannya dari kebohongan. Hal
tersebut sebagaimana yang dilakukan Nabi Yusuf AS ketika memasukkan piala ke
dalam karung saudaranya, kemudian ia mengeluarkannya dari karung itu sambil
melontarkan tuduhan, bahwa saudaranya telah mencuri, tetapi ia tidak
menjelaskan kasus pencuriannya, melainkan ia menggunakan perkataan yang
mengandung kemungkinan, sebagaimana hal itu terungkap dalam perkataannya, “Aku
mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang, kecuali orang yang
kami ketemukan harta benda kami padanya.” (Yusuf: 79). Ia tidak mengatakan
orang yang mencuri harta benda kami.
Faidah lainnya, bahwa seseorang tidak boleh memberikan kesaksian
kecuali dalam urusan yang diketahuinya dan benar-benar disaksikan oleh
penglihatan dan pendengarannya secara langsung. Hal itu merujuk perkataan
mereka (saudara-saudara Nabi Yusuf
AS ), “… dan kami hanya
menyaksikan apa yang kami ketahui.” (Yusuf: 81)
Juga di dalam firman Allah Ta’ala, “… ialah orang yang mengakui yang
hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az-Zukhruf: 86)
Faidah lainnya, bahwa ujian yang besar telah Allah timpakan kepada
Nabi-Nya dan kekasih-Nya yaitu Nabi Ya’qub AS, dimana Allah SWT telah
memisahkannya dengan Nabi Yusuf AS putranya, padahal ia tidak sanggup berpisah
dengannya meskipun hanya sesaat sehingga ia diliputi kesedihan yang mendalam.
Perpisahan itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sedang Nabi Ya’qub AS
tidak dapat menghilangkan kesedihan dari hatinya dan kedua matanya berubah
menjadi putih karena kesedihan yang dirasakannya dan amarahnya yang terpendam
terhadap putra-putranya. Kemudian kesedihannya semakin bertambah setelah ia
berpisah dengan puteranya yang kedua (Bunyamin) menyusul perpisahan dengan
puteranya yang pertama. Dalam menghadapi perpisahan tersebut Nabi Ya’qub AS
tetap bersabar menunaikan perintah-perintah Allah seraya mengharapkan balasan
pahala dari Allah, dimana ia berjanji kepada dirinya untuk tetap bersabar,
karena itulah langkah yang terbaik baginya. Tidak diragukan lagi, bahwa ia pun
memperoleh balasan atas apa yang telah dijanjikannya kepada dirinya serta ia
tidak menafikannya. Hal itu diungkapkannya dengan perkataannya, “Sesungguhnya
hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (Yusuf: 86)
Adapun pengaduan kepada Allah tidaklah menafikan kesabaran. Sedang
pengaduan yang menafikan kesabaran adalah pengaduan kepada mahluk. Tidak
diragukan lagi, bahwa Allah telah meninggikan derajat dan kedudukan Nabi Ya’qub
AS dengan ujian tersebut, yang tidak akan tercapai kecuali dengan ujian seperti
ini.
Faidah lainnya, bahwa kebahagiaan akan datang bersama kesusahan (di
balik kesusahan terdapat kebahagiaan). Ketika kesusahan yang bermacam-macam
datang bertubi-tubi dan orang yang mengalaminya sudah tidak sanggup memikulnya,
hendaklah ia memohon kepada Rabb yang menghilangkan penderitaan, yang
melapangkan kesempitan serta yang mengabulkan do’a orang-orang yang sangat
butuh. Itulah kebiasaan yang terpuji yang biasa dilakukan para kekasih Allah
dan orang-orang pilihan-Nya, sehingga berhasil mendapatkan derajat yang tinggi
dan kedudukan yang agung, dan menjadikan ma’rifat kepada Allah atau kecintaan
kepada-Nya mampu mengimbangi dan mengalahkan penderitaan atau kesusahan yang
menimpa seorang hamba.
Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan bagi seorang hamba
memberitahukan ujian yang sedang menimpanya seperti: sakit, kefakiran atau
ujian lainnya, tanpa bermaksud menunjukkan kebencian terhadap ujian yang
menimpanya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Ya’qub AS, “Aduhai duka citaku
terhadap Yusuf.” (Yusuf: 84), dan juga perkataan saudara-saudaranya Nabi Yusuf
AS, “Hai Al-Aziz, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan ….” (Yusuf:
88) Nabi yusuf pun menerima pengakuan mereka.
Faidah lainnya adalah berkenaan dengan keutamaan takwa dan sabar,
dimana seluruh kebaikkan di dunia dan di akhirat ialah akibat dari takwa dan
sabar, dan balasan bagi pemilik kedua sifat tersebut adalah balasan yang
terbaik. Hal itu merujuk perkataan Nabi Yusuf AS, “Sesungguhnya Allah telah melimpahkan
karunia-Nya kepada kami.” Sesungguhnya barang siapa yang bertaqwa dan bersabar,
maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat
baik.” (Yusuf: 90)
Faidah lainnya, bahwa sudah semestinya seorang hamba ketika dikaruniai
suatu ni’mat menjauhi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan
ni’mat itu dengan mengingat keadaannya yang telah lalu supaya dapat
mengagungkan ni’mat yang dikaruniakan kepadanya ketika itu dan banyak bersyukur
kepada Allah SWT. Nabi Yusuf AS berkata, “Dan sesungguhnya Rabbku telah berbuat
baik kepadaku, ketika dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa
kamu dari dusun padang
pasir, setelah syetan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku.”
(Yusuf: 100)
Faidah lainnya, bahwa cerita yang tertera dalam kisah sarat dengan
kasih sayang Allah yang memberikan kemudahan dalam menghadapi ujian, di
antaranya: mimpi Nabi Yusuf AS sebagaimana telah dijelaskan bahwa di dalamnya
sarat dengan kasih sayang Allah kepada Nabi Yusuf AS dan Nabi Ya’qub AS,
tercapainya kebahagiaan sesuai tafsiran mimpi, kasih sayang Allah SWT kepada
Nabi Yusuf AS dengan diturunkannya wahyu kepadanya ketika berada di dasar sumur
untuk memberitahukan perbuatan mereka, sedangkan mereka tidak mengetahuinya dan
mengubahnya dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya yang di dalamnya sarat
dengan kasih sayang Allah baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Karena
itulah, maka di akhir kisah ini Allah berfirman, “Sesungguhnya Rabbku Maha
Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki.” (Yusuf: 100) Yakni Allah Ta’ala
menyayanginya dalam keadaannya yang tersembunyi dan urusan-urusannya yang
terlihat serta menyampaikannya kepada pencapaian derajat yang tinggi tanpa
sepengetahuannya.
Faidah lainnya, bahwa wajib bagi seorang hamba untuk selalu memohon
kepada Rabbnya agar ditetapkan keimanannya, memperoleh hasil akhir yang baik,
menjadikan hari-harinya berakhir dengan baik dan amal-amalnya berakhir dengan
baik, karena sesungguhnya Allah Maha Mulia, Maha Pemurah dan Maha Pengasih.
0 komentar:
Posting Komentar