“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka
itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. al-Qur'an itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman.” (Yusuf: 111).
Kisah Nabi Adam As
(Bapak Manusia)
Oleh : Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy
Allah ialah yang awal; yang tidak ada sesuatu sebelum-Nya, yang
berbuat sesuai kehendak-Nya, tidak ada waktu yang membatasi seluruh perbuatan-Nya,
firman-Nya keluar sesuai dengan kehendak-Nya, kehendak-Nya sejalan dengan
kebijakan-Nya; karena memang Allah adalah Dzat Yang Maha Bijaksana dalam segala
hal yang telah ditakdirkan dan ditetapkan-Nya, sebagaimana Allah pun Maha
Bijaksana dalam menetapkan semua ketentuan syari’at-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Berdasarkan kebijaksanaan Allah yang menyeluruh, ilmu-Nya yang
melingkupi segala hal dan rahmat-Nya yang sempurna maka Allah Ta’ala memutuskan
untuk menciptakan Nabi Adam AS sebagai bapaknya manusia, dimana Allah
mengutamakan manusia di atas mahluk lainnya dengan beberapa keutamaan. Kemudian
Allah Ta’ala memberitahukannya kepada para malaikat, seraya berfirman,
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (al-Baqarah:
30). Yakni seorang khalifah yang berbeda dari mahluk sebelum mereka yang tidak
akan mengetahuinya selain Allah.”
Kemudian para malaikat berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah.” (Al-Baqarah: 30). Perkataan itu diutarakan mereka dengan maksud
mengagungkan Rabb mereka jangan sampai Rabb mereka menciptakan mahluk di muka
bumi ini yang akhlaknya menyerupai akhlak mahluk yang pertama atau Allah Ta’ala
mengabarkan kepada mereka tentang penciptaan Nabi Adam AS dan pelanggaran yang
akan diperbuat keturunannya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitabnya al-Bidaayah Wa
an-Nihaayah (1/70-71): “Allah Ta’ala mengabarkan kepada para malaikat dengan gaya bahasa pujian
mengenai penciptaan Nabi Nabi Adam AS dan keturunannya, seperti halnya Allah
mengabarkan urusan yang besar sebelum penciptaannya. Para
malaikat pun bertanya dengan maksud menyelidiki dan mencari tahu tentang hikmah
di balik penciptaannya tersebut; dan bukan bermaksud menentang penciptaan Nabi
Adam AS dan keturunannya atau iri terhadap mereka; sebagaimana yang dituduhkan
para mufassir yang bodoh.”
Allah berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)
Sesungguhnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu serta hal-hal yang
berkaitan dengan keadaan mahluk tersebut (Nabi Adam AS) mengenai maslahat dan
manfaatnya yang tidak terhitung dan tidak terhingga.
Allah memberitahukan kepada mereka tentang keberadaan Dzat-Nya yang
sempurna ilmu-Nya dan Allah mesti mengenalkan keberadaan Dzat-Nya yang memiliki
keluasan ilmu dan hikmah, sehingga Dia tidak mungkin menciptakan sesuatu dengan
sia-sia dan tidak ada hikmah di baliknya.
Kemudian Allah menjelaskan kepada para malaikat secara mendetail;
bahwa Dia akan menciptakan Nabi Adam AS dengan tangan-Nya langsung dan akan
memuliakannya di atas seluruh mahluk lainnya. Allah menggenggam satu genggaman
dari semua lapisan tanah; baik yang halus, yang kasar, yang subur dan yang gersang,
sehingga keturunannya memiliki tabiat-tabiat tersebut. Pada mulanya hanya
berupa tanah, kemudian Allah meneteskan air di atasnya, sehingga berubah
menjadi lumpur (tanah liat), dan setelah keberadaan air di dalam lumpur
tersebut telah cukup lama, maka lumpur itu berubah menjadi lumpur hitam yang
diberi bentuk. Selanjutnya Allah Ta’ala menyempurnakan kejadiannya setelah
membentuknya terlebih dahulu; sehingga keberadaannya bagaikan tembikar dari
tanah liat. Pada tahapan ini, maka ia hanya berbentuk jasad tanpa ruh. Setelah
Allah menyempurnakan penciptaan jasadnya, maka Allah meniupkan ruh ke dalamnya,
sehingga jasad itu berubah yang tadinya hanya benda mati menjadi mahluk yang
mempunyai tulang, daging, urat saraf, urat-urat kecil dan ruh. Itulah hakikat penciptaan
manusia, dan Allah menjanjikannya dengan semua ilmu dan kebaikan.
Allah menyempurnakan ni’mat-Nya kepada Nabi Adam AS dan mengajarinya
nama-nama semua benda. Ilmu yang sempurna niscaya dapat membawa kepada
kesempurnaan yang pari purna dan kesempurnaan akhlak. Allah hendak
memperlihatkan kepada para malaikat mengenai kesempurnaan mahluk ini (Nabi Adam
AS). Kemudian Allah menanyakan kepada para malaikat tentang nama-nama benda
yang telah disebutkan Nabi Adam AS, seraya Allah Ta’ala berfirman kepada
mereka: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, “Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kamu orang yang benar!” (Al-Baqarah:
31). Yakni perkataan para malaikat yang terdahulu yang meminta supaya Allah SWT
meninggalkan penciptaan-Nya didasarkan pada kenyataan yang tampak di hadapan
mereka pada saat itu.
Allah Ta’ala berfirman, “Hai Adam, beritahukan kepada mereka
nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Allah
berfirman, “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku
mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan
apa yang kamu sembunyikan.” (Al-Baqarah: 33)
Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada
Adam.” (Al-Baqarah: 34). Yakni hendaklah kamu menghormati, mengagungkan dan
memuliakannya sebagai ibadah, ketaatan, kecintaan dan kepatuhanmu kepada
Rabbmu.
Kemudian para malaikat pun segera bersujud seluruhnya. Ketika mereka
sujud, maka ketika itu Iblis berada di antara mereka dan Allah memerintahkannya
supaya bersujud kepadanya bersama-sama dengan para malaikat. Iblis bukan
berasal dari golongan malaikat, melainkan berasal dari golongan jin yang
diciptakan dari api yang sangat panas. Iblis menyembunyikan keingkaran terhadap
perintah Allah dan ia merasa iri dengan manusia yang diberikan keutamaan dengan
keutamaan tersebut.
Kesombongan dan keingkaran Iblis menyeretnya ke lembah penolakan
bersujud kepada Nabi Adam AS., dan sebagai bentuk keingkaran terhadap perintah
Allah Ta’ala dan menunjukkan kesombongan.* Iblis tidak dapat menahan perasaan
benci dan keengganannya bersujud kepada Nabi Adam AS., sehingga ia mentolelir
dirinya untuk menunjukkan penentangannya kepada Rabbnya serta mencela
kebijakan-Nya, seraya berkata, “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan
saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf: 12). Di dalam
ayat lain Allah SWT berfirman kepadanya: “Hai iblis, apakah yang menghalangi
kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih)
tinggi?” (Shad: 75)
Jadi kekufuran, kesombongan, keingkaran dan kedengkian adalah sebab
utama yang membuat Iblis diusir dan dilaknat.
Allah Ta’ala berfirman kepadanya: “Turunlah kamu dari surga itu;
karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah,
sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.” (al-A’raf: 13)
Iblis tidak mau tunduk terhadap perintah Rabbnya dan tidak mau
bertaubat kepada-Nya, bahkan ia secara terang-terangan memperlihatkan sikap
permusuhannya dan bersikeras akan memusuhi Nabi Adam AS dan keturunannya.
Setelah Iblis mengetahui bahwa Allah telah memutuskan baginya penderitaan yang
abadi, maka ia segera menyiapkan dirinya untuk menyeru keturunan Nabi Adam AS
(manusia) melalui perkataannya atau perbuatannya dan menjadikan mereka sebagai
bala tentaranya serta pengikut setianya yang dijanjikan bagi mereka lembah
kebinasaan. Iblis berkata, “Ya Rabbku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka
dibangkitkan.” (Shad: 79). Selanjutnya tuntaslah pemberian hak atas Iblis untuk
memusuhi Nabi Adam AS dan keturunannya.
Karena kebijakan Allah telah ditetapkan, bahwa manusia terdiri dari
beberapa tabiat yang saling berlawanan, akhlak yang baik atau yang jelek, maka
merupakan suatu kemestian untuk membedakan akhlak itu dan cara membersihkannya
sesuai dengan kadar penyebabnya dari ujian yang dihadapinya. Ujian terbesarnya
adalah kemungkinan Iblis menyeru mereka kepada segala kejahatan, dimana Allah
telah mengabulkan permintaan Iblis, seraya berfirman, “Sesungguhnya kamu
termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah
ditentukan waktunya (hari kiamat).” (Shad: 80-81)
Kemudian Iblis berkata kepada Rabbnya sambil mengikrarkan
kedurhakaannya serta permusuhannya kepada Nabi Adam AS dan keturunannya:
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalangi-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan
mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri
mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta'at).”
(al-A’raf: 16-17)
Iblis mengutarakan perkataannya itu, karena ia merasa yakin tidak
akan gagal menggoda manusia.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya iblis telah dapat
membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya,
kecuali sebagian orang-orang yang beriman.” (as-Saba’: 20)
Selanjutnya Allah menetapkan perintah yang dikehendaki oleh Iblis
yaitu menyesatkan Nabi Adam AS dan keturunannya, seraya Allah berfirman
kepadanya: “Pergilah, barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, maka
sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan
yang cukup. Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan
ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang
berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri
janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka
melainkan tipuan belaka.” (al-Isra’: 63-64)
Yakni, jika kamu mampu, maka jadikanlah mereka sebagai orang-orang
yang menyimpang dalam mendidik anak-anak mereka dengan pendidikan yang
mendatangkan kemudaratan, dan dalam mengelola harta mereka dengan pengelolaan
yang menimbulkan kemudaratan dan kegiatan usaha yang melahirkan penderitaan.
Kemudian akan berserikat dengannya dari mereka dalam harta dan anak-anak, yaitu
orang-orang yang jika memakan makanan, meminum air dan melangsungkan
pernikahan, maka mereka tidak menyebut nama Allah.
Allah Ta’ala berfirman, “… dan beri janjilah mereka” , yakni
perintahkanlah kepada mereka agar mendustakan Ba’ats (kebangkitan dari kubur)
serta adanya balasan pahala, tidak menggiring mereka kepada kebaikkan,
menakut-nakuti mereka dengan para kekasihmu dan menakut-nakuti mereka ketika
akan mengeluarkan infak yang bermanfaat dengan menggiring mereka kepada
kekejian dan kebakhilan. Ketentuan itu berasal dari Allah untuk memperlihatkan
sejumlah hikmah dan rahasia yang besar.
Sesungguhnya kamu, hai musuh yang nyata (Iblis), bahwa kemampuanmu
tidak akan tersisa sedikitpun dalam menyesatkan mereka. Orang jahat dari mereka
akan terlihat kejahatan dan keburukannya, dan Allah tidak akan mempedulikannya.
Sesungguhnya keturunan Nabi Adam AS terutama para nabi dan para
pengikut mereka yang terdiri dari orang-orang yang jujur, orang-orang yang
menjaga kesucian diri, para wali dan orang-orang mukmin niscaya Allah Ta’ala
tidak memberikan kekuasaan kepada Iblis untuk menyesatkan mereka. Bahkan Allah
Ta’ala mendirikan untuk mereka sebuah benteng yang diliputi perlindungan serta
jaminan-Nya, dan membekali mereka senjata yang tidak mungkin sanggup diterjang
musuh yaitu keimanan kepada Allah dan kekuatan tawakkal mereka kepada-Nya,
sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya setan itu tidak
ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya.”
(an-Nahl: 99)
Selain itu Allah telah membantu mereka untuk menentang musuh
tersebut (Iblis) dengan beberapa cara, yaitu:
1.
Allah
telah menurunkan kepada mereka Kitab-Nya yang mencakup ilmu-ilmu yang
bermanfaat dan nasehat-nasehat yang meninggalkan kesan dan memberikan pengaruh
serta memberikan dorongan untuk mengerjakan sejumlah kebaikan dan mewanti-wanti
dari mengerjakan sejumlah keburukan.
2.
Allah
telah mengutus para rasul kepada mereka untuk memberikan kabar gembira kepada
orang yang beriman kepada Allah dan taat kepada-Nya dengan balasan pahala yang
kontan dan memperingatkan orang yang kufur, mendustakan ayat Allah dan
berpaling dari jalan-Nya dengan siksaan yang bermacam-macam. Kemudian menjamin
orang yang mengikuti petunjuk-Nya yang diturunkan kepadanya melalui kitab-Nya
serta mengutus para rasul-Nya kepadanya supaya tidak tersesat di dunia dan
tidak sengsara di akhirat serta baginya tidak ada ketakutan dan tidak ada
kesedihan yang memilukannya.
3.
Allah
telah memberikan bimbingan kepada mereka yang tertera dalam kitab-Nya serta
melalui lisan para rasul-Nya supaya mengerjakan langkah-langkah yang dapat
mengalahkan musuh mereka (Iblis), dan menjelaskan kepada mereka tentang hal-hal
yang diserukan syetan dan jalan-jalannya yang dapat menyebabkan khalifah
(manusia) menjadi mangsa buruannya.
4.
Sebagaimana
halnya Allah telah membimbing mereka dengan menjelaskan hal-hal yang diserukan
syetan dan jalan-jalannya, maka Allah juga telah membimbing mereka ke jalan
yang akan menyelamatkan mereka dari kejahatan dan fitnahnya dan menolong mereka
untuk mewujudkannya dengan pertolongan takdir yang di luar kemampuan mereka.
Karena ketika mereka mengerahkan seluruh usaha mereka serta memohon pertolongan
kepada Rabb mereka, niscaya Allah sebagai Rabb mereka akan memberi kemudahan
kepada mereka dalam menempuh semua jalan yang dapat menyampaikan mereka kepada
tujuan yang dimaksud.
5.
Allah
menyempurnakan ni’mat-Nya kepada Nabi Adam AS dengan diciptakannya Hawa sebagai
pasangan dari jenisnya dan sesuai dengan wujudnya agar ia merasa senang
kepadanya dan Allah pun menyempurnakan sejumlah tujuan yang bermacam-macam
melalui proses perkawinan, perkumpulan dan penjagaan keturunan melalui proses
perkawinan tersebut.
Allah SWT berfirman kepada Nabi Adam AS dan istrinya: “Sesungguhnya
syetan itu ialah musuh kamu berdua, hendaklah kamu berdua berhati-hati
kepadanya, sehingga jangan sampai syetan itu mengeluarkan kamu berdua dari
surga, yang Allah telah menempatkan kamu berdua di dalamnya; dan Allah telah
membolehkan kamu berdua memakan seluruh buah-buahan dan meni’mati seluruh
keni’matannya, kecuali hanya satu pohon yang dilarang Allah di dalam surga
tersebut, dimana Allah telah mengharamkannya kepada keduanya, seraya berfirman,
“Hai Adam, bertempat tinggallah kamu dan istrimu di surga serta makanlah olehmu
berdua (buah-buahan) dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua
mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang
zhalim.” (al-A’raf: 19)
Allah berfirman kepada Nabi Adam AS dalam meni’mati seluruh ni’mat
yang tersedia di dalam surga: “Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di
dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa
dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (Thaha:
118-119)
Keduanya tinggal di dalam surga tersebut sesuai dengan kehendak Allah;
sebagaimana yang telah dijelaskan Allah bahwa musuh keduanya selalu mengawasi
atau mengintai keduanya dan menunggu kesempatan untuk menggoda keduanya.
Ketika Iblis melihat kebahagiaan pada diri Nabi Adam AS dengan
dimasukan ke dalam surga dan keinginannya yang besar untuk tetap kekal di
dalamnya, maka Iblis menemuinya dengan cara yang halus dalam wujud seorang
teman yang akan memberikan nasehat, seraya berkata, “Hai Adam, apakah kamu
ingin aku tunjukkan ke suatu pohon yang jika kamu memakan buahnya, maka kamu
akan kekal dalam surga ini. Sedang Rabb Yang Maha Kuasa tidak menghendakimu
kekal di dalamnya.”
Iblis senantiasa berusaha membisikan pikiran-pikiran jahat, merayu,
menggoda, membujuk, berjanji, bersumpah dan menasehati keduanya dengan nasehat
yang nyata-nyata sebagai tipu daya yang besar; sehingga akhirnya keduanya
terpedaya dan memakan buah pohon yang dilarang atau diharamkan Allah atas
keduanya.
Ketika keduanya memakan buah pohon itu, maka tampaklah aurat
keduanya yang sebelumnya tertutupi, sehingga keduanya memetik daun-daun dari
surga untuk menutupi aurat keduanya. Yakni menempelkan daun-daun surga itu
untuk menutupi badan keduanya yang telanjang sebagai pengganti pakaian.
Seketika itu juga turun dan tampak di hadapan keduanya akibat pelanggaran
yang telah dilakukan keduanya, sehingga Rabb keduanya menegur keduanya, seraya
berfirman, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku
katakan kepadamu: “Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu
berdua.” (al-A’raf: 22)
Allah Ta’ala menumbuhkan dalam hati keduanya keinginan untuk
bertaubat yang sesungguhnya dan memohon ampunan yang sejujurnya, sebagaimana
ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Kemudian Adam menerima beberapa
kalimat dari Rabb-nya.” (Al-Baqarah: 37). Selanjutnya “keduanya berkata, “Ya
Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 23)
Kemudian Allah menerima taubat keduanya dan menghapus dosa yang
telah diperbuat keduanya, akan tetapi Allah tetap memberikan peringatan atas
perbuatan dosa tersebut; yaitu dengan mengeluarkan keduanya dari surga karena
memakan buah dari pohon yang telah ditetapkan. Keduanya dikeluarkan dari surga
dan diturunkan ke bumi yang kebaikannya datang silih berganti dengan
keburukannya, kebahagiaannya datang silih berganti dengan penderitaannya.
Allah juga mengabarkan kepada keduanya, bahwa Dia akan menguji
keduanya dan keturunan keduanya, dimana bagi orang yang beriman dan beramal
shalih, niscaya akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari keadaannya
semula, sedang bagi orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling dari
jalan-Nya, niscaya akan memperoleh balasan akhir yang buruk yaitu penderitaan
yang abadi dan siksaan yang kekal.
Allah Ta’ala mewanti-wanti kepada keturunan keduanya supaya waspada
terhadap godaan dan tipu daya syetan, seraya berfirman, “Hai anak Adam,
janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah
mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat
mereka.” (al-A’raf: 27)
Allah memerintahkan kepada keduanya supaya mengganti pakaian
keduanya yang dilepaskan oleh syetan dengan pakaian yang dapat menutupi aurat
keduanya. Dengan pakaian tersebut maka tercapailah keindahan lahiriyah dalam
kehidupan. Akan tetapi pakaian yang lebih tinggi kedudukannya dari pakaian
tersebut adalah pakaian takwa yang menjadi pakaian hati dan ruh, yaitu:
keimanan, keikhlasan, taubat dan menghiasi diri dengan semua akhlak terpuji dan
menjauhkan diri dari semua akhlak tercela.
Kemudian Allah mengembangbiakkan keturunan dari Nabi Adam AS dan
Hawa istrinya yang terdiri dari kaum laki-laki dan kaum wanita dalam jumlah
yang banyak, menyebarluaskan mereka di muka bumi dan menjadikan mereka sebagai
khalifah di dalamnya untuk melihat bagaimanakah mereka beramal.
Allah SWT berfirman dalam surat
al-Kahfi, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah
kamu kepada Nabi Adam AS”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari
golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Rabbnya. Patutkah kamu mengambil dia
dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka
adalah musuhmu Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi
orang-orang yang zalim.” (al-Kahfi: 50).
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitabnya al-Bidaayah Wa
an-Nihaayah (1/72-73): “Iblis keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala dengan
sengaja dan menunjukkan keingkaran atau kesombongannya dengan menolak
perintah-Nya. Tidaklah Iblis menunjukkan sikap tersebut, kecuali ia telah
mengkhianati tabi’atnya serta materi jasadnya, dimana materi yang jelek akan
membutuhkan sesuatu yang dapat menutupi kejelekkannya, dan ia adalah mahluk
yang diciptakan dari api sebagaimana Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya.
Juga sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Shahîh Muslim dari Aisyah RA dari
Rasulullah SAW, seraya bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin
diciptakan dari api dan Nabi Adam AS diciptakan dari apa yangtelah digambarkan
kepada kalian (dari tanah).”
Adapun di antara faidah yang dapat diambil dari kisah tersebut
adalah:
1. Sesungguhnya kisah
besar ini telah dipaparkan Allah di dalam kitab-Nya dalam beberapa tempat
(ayat) dengan paparan yang jelas yang di dalamnya tidak ada keraguan dan
termasuk kisah yang sangat besar yang disepakati para rasul, kitab-kitab suci
samawi diturunkan karenanya dan seluruh pengikut para nabi dari mulai yang
pertama hingga yang terakhir telah meyakini kebenarannya.
Dewasa ini muncul sekelompok zindiq yang mengingkari seluruh ajaran yang
dibawa para rasul, mengingkari adanya Pencipta (Rabb) serta tidak mempercayai
ilmu kecuali ilmu alam (fisika); sehingga pengetahuan mereka tidak akan dapat
mengantarkan kepada keyakinan tersebut, karena pengetahuan mereka sangat
terbatas.
Berkenaan dengan madzhab yang jauh dari kebenaran ini; baik menurut
syara’ maupun akal sehat, bahwa mereka telah mengingkari keberadaan Nabi Adam
AS dan Hawa dan keterangan yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang
keberadaan keduanya.
Sedangkan di antara mereka yang pendapatnya dianggap sesat adalah
orang-orang yang berpendapat bahwa manusia mengalami perkembangan dan kemajuan
dalam masalah akidah, sebagaimana berkembang dan majunya teknologi. Dengan
pendapat tersebut, mereka bermaksud menafikan sejarah akidah, sebagaimana yang
dijelaskan Al-Qur’an dalam kisah Nabi Adam AS dan Iblis dan menafikan wahyu dan
para rasul.
Mereka beranggapan bahwa manusia itu berasal dari kera atau
sejenisnya, kemudian ia berevolusi sehingga mencapai wujudnya yang sekarang.
Mereka terpedaya oleh teori mereka yang sangat keliru yang
didasarkan pada asumsi akal mereka yang sejak semula telah rusak dan
mengabaikan keterangan yang bersumber dari ilmu-ilmu yang benar, khususnya
ilmu-ilmu yang dibawa para rasul.
Allah Ta’ala telah menegaskan tentang kebenaran ilmu-ilmu yang
dibawa para rasul dalam firman-Nya, “Maka tatkala datang kepada mereka
rasul-sasul (yang dulu diutus kepada) mereka dengan membawa
keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka
dan mereka dikepung oleh adzab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.”
(Al-Mukmin: 83).
Keberadaan mereka sangatlah jelas bagi kaum muslimin yang berilmu
dan orang-orang yang percaya adanya Pencipta, bahwa mereka adalah kelompok
paling sesat. Tetapi sebagian pengaruh pendapat madzhab atheis itu dan
pendapat-pendapat lainnya yang merujuk pendapat madzhab itu telah diminumkan
dan dicekokkan kepada sebagian kaum muslimin.
Ketika sekolompok intelektual muslim yang menamakan diri sebagai
kelompok modernis menafsirkan tentang sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam
AS dengan makna tunduknya alam ini kepada manusia, dimana benda-benda bumi,
barang tambang dan sejenisnya telah ditundukan Allah Ta’ala kepada manusia.
Itulah makna sujud para malaikat kepada Nabi Adam AS.
Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir niscaya tidak akan
ragu bahwa pendapat itu bersumber dari pemikiran yang rusak dan bertentangan
dengan kitab Allah (Al-Qur’an), dimana tidak ada perbedaan di antara
penentangannya dengan penentangan yang dilakukan aliran kebatinan dan
Qaramithah (salah satu sekte Syi’ah). Jika penafsiran kisah di atas dimaknai
dengan makna tersebut, maka penyimpangan tersebut dapat terjadi pada
kisah-kisah Al-Qur’an yang lainnya dan Al-Qur’an akan beralih fungsi yang
tadinya sebagai penjelas atas segala sesuatu, petunjuk serta rahmat menjadi
sebuah simbol yang memungkinkan semua musuh Islam memperlakukannya dengan
perlakuan tersebut, sehingga aturan-aturan hukum Al-Qur’an dapat dibatalkan
dengan penafsiran tersebut. Selain itu petunjuk Al-Qur’an akan berubah menjadi
kesesatan dan rahmatnya berubah menjadi malapetaka. Maha Suci Engkau, Ya Allah.
Sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan kebohongan yang besar.
Bagi seorang mukmin dalam menyikapi penafsiran semacam itu, maka
cukup baginya dengan membatilkan pemikiran atau pendapat keji tersebut dan
berpaling kepada keterangan yang dijelaskan Allah kepada kita tentang sujudnya
para malaikat kepada Nabi Adam AS, sehingga ia mengetahui bahwa pendapat itu
dimaksudkan untuk menafikan keterangan yang dijelaskan Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya keindahan tutur kata para pemeluk madzhab tersebut hanya menarik
perhatian orang yang berprasangka baik kepada mereka, sedangkan seorang mukmin
tidak akan membiarkan keimanannya serta kitab suci Rabb-nya dinodai oleh
pendapat yang mengandung tipuan para pengikut madzhab tersebut.
2. Faidah lainnya
berkaitan dengan keutamaan ilmu, dimana sikap para malaikat saat ditunjukan
kepada mereka keutamaan Nabi Adam AS dengan ilmunya maka mereka mengakui
keutamaan dan kesempurnaannya, sehingga berhak mendapat pernghormatan dan
pengagungan.
3. Bahwa orang yang
dikaruniai ilmu oleh Allah wajib mengakui ni’mat Allah yang telah dikaruniakan
kepadanya dan semestinya ia berkata sebagaimana perkataan para malaikat dan
para rasul, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami.” (Al-Baqarah: 32). Selain itu sudah
semestinya baginya memelihara perkataannya dari segala hal yang tidak diketahuinya.
Ilmu termasuk ni’mat yang sangat besar, dan cara mensyukurinya adalah
mengakuinya sebagai milik Allah, memuji-Nya, mempelajarinya, mengajari orang
bodoh, memahamkan sesuatu hal yang telah diketahui kepada seseorang dan berdiam
diri dari sesuatu hal yang tidak diketahuinya.
4. Bahwa Allah menjadikan
kisah tersebut sebagai pelajaran bagi kita, dimana kesombongan, kedengkian dan
ketamakan adalah akhlak yang sangat berbahaya bagi seorang hamba, karena
kesombongan dan kedengkian Iblis kepada Nabi Adam AS telah mengubah keadaannya
sebagaimana telah anda ketahui serta ketamakan Nabi Adam AS dan Hawa istrinya
telah mendorong keduanya memetik buah pohon yang dilarang. Jika saja tidak ada
rahmat Allah kepada keduanya, niscaya keduanya akan terjerumus ke dalam jurang
kebinasaan. Dengan adanya rahmat Allah, sehingga yang kurang menjadi sempurna,
yang kalah menjadi menang, yang binasa menjadi selamat dan yang hina menjadi
mulia. Al-Hafizh Ibnu Al-Qayyim berkata dalam kitabnya Al-Fawaa`id (hal. 105):
“Sumber kesalahan semuanya ada tiga hal, yaitu:
Kesombongan, sifat yang menyebabkan Iblis mengalami akibat
sebagaimana dijelaskan di atas. Ketamakan, sifat yang menyebabkan Nabi Adam AS
AS dikeluarkan dari surga. Kedengkian, sifat yang menyebabkan seseorang
bertindak lalim (lancang) kepada saudaranya.
Barangsiapa yang terjerumus ke dalam kejelekkan ketiga sifat
tersebut, niscaya ia telah jatuh ke dalam kejelekkan. Kekufuran bersumber dari
kesombongan, kema’siatan bersumber dari ketamakan dan kelancangan dan kelaliman
bersumber dari kedengkian.”
5. Bahwa diwajibkan atas
seseorang ketika jatuh ke dalam perbuatan dosa untuk segera bertaubat dan
mengakui dosa yang diperbuatnya serta mengucapkan ucapan sebagaimana yang
diucapkan kedua ibu bapaknya (yakni Nabi Adam AS dan Hawa) dengan hati yang
ikhlas dan bertaubat dengan benar. Tidaklah Allah menceritakan taubat keduanya,
kecuali supaya kita mengikuti taubat keduanya, sehingga kita mendapatkan
kebahagiaan dan diselamatkan dari kebinasaan. Juga tidaklah Allah Ta’ala
menceritakan kepada kita tentang hal-hal yang dibisikan syetan dari sesuatu
yang dijanjikan kepada kita dan tipu daya yang dihembuskannya untuk menyesatkan
kita yang dilakukannya dengan berbagai cara, kecuali supaya kita waspada
terhadap musuh tersebut yang secara terang-terangan dan terus-menerus
menunjukan permusuhannya.
Allah mencintai kita dengan memerintahkan kita supaya melawan Iblis
dengan mengerahkan segenap kemampuan menjauhi jalannya dan garis-garis
kebijakannya dan melakukan hal-hal yang akan menumbuhkan perasaan takut akan
terjatuh ke dalam perangkapnya, melakukan amalan-amalan yang menjadi benteng
pelindung seperti: wirid-wirid yang shahih, dzikir hati dan ta’awudz yang
bermacam-macam, menyiapkan senjata penghancur perangkapnya berupa iman yang
benar serta kekuatan tawakal kepada Allah, mengabaikan kebenciaannya terhadap
amal-amal kebaikan dan menentang bujukannya dan pikiran-pikiran keji yang
selalu dihembuskannya setiap saat ke dalam hati dengan melakukan perbuatan yang
sebaliknya dan yang membatalkannya seperti ilmu-ilmu yang bermanfaat dan
melakukan segala hal yang benar.
6. Bahwa di dalam kisah di
atas terdapat dalil bagi madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menetapkan bagi
Allah sesuatu yang telah ditetapkan-Nya untuk Dzat-Nya seperti nama-nama yang
baik (Asmmaa`ul Husnaa) dan sifat-sifat secara keseluruhan, tanpa membedakan di
antara sifat-sifat Dzat dan sifat-sifat perbuatan.
7. Menetapkan dua tangan
bagi Allah seperti disebutkan dengan jelas di dalam kisah Nabi Adam AS, “Lammaa
Khalaqtu Bi Yadayya (… yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku).” (Shaad:
75). Yakni Allah memiliki dua tangan menurut makna yang hakiki yang tidak
serupa dengan tangan mahluk, seperti halnya Dzat-Nya tidak serupa dengan dzat
mahluk serta sifat-sifat-Nya tidak serupa dengan sifat-sifat mahluk.
Ahlussunnah sepakat bahwa Allah Ta’ala memiliki dua tangan yang
selalu terbentang memberikan karunia serta keni’matan, dan keduanya merupakan
sifat dzatiyah yang tetap bagi-Nya menurut kepatutan; dan mereka sepakat bahwa
keduanya adalah tangan dalam arti hakiki yang tidak serupa dengan tangan mahluk
serta tidak boleh mengalihkan makna keduanya kepada makna kekuasaan, ni’mat
serta makna lainnya karena beberapa alasan, yaitu:
Pertama, mengalihkan pembicaraan dari makna hakiki ke makna majazi
(kiasan) tanpa dalil.
Kedua, makna tersebut tidak sesuai secara bahasa dalam konteks
kalimat seperti firman Allah: “Lammâ Khalaqtu Bi Yadayya (… yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku) dan tidak tepat menggantinya dengan makna:
“Lammâ Khalaqtu Bi Ni’matî Au Quwwatî (yang telah Ku-ciptakan dengan ni’mat-Ku
atau kekuasaan-Ku) .
Ketiga, adanya penyandaran kata yadd kepada kata Allah dalam bentuk
Tatsniyyah (kata yang menunjukkan makna dua), dan tidak ditemukan dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah pada satu tempat pun menyandarkan kata ni’mat atau
quwwah kepada kata Allah dalam bentuk Tatsniyyah, sehingga bagaimana mungkin
menafsirkan kata yang satu dengan kata yang satunya lagi?
Keempat, Jika yang dimaksud dengan kedua tangan dalam konteks tersebut
adalah kekuasaan, maka entunya dipandang sah mengatakan, “Sesungguhnya Allah
telah menciptakan Iblis dengan kekuasaan-Nya” dan perkataan sejenisnya.
Seandainya dibolehkan, niscaya Iblis akan berargumen dengan perkataan itu
kepada Rabb-nya ketika berfirman kepadanya, “Hai Iblis, apakah yang menghalangi
kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Shaad: 75).
Masih banyak alasan lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat merujuk
kitab Al-Fatwa Al-Hamawiyyah, karya Syaikh Islam Ibnu Taimiyah dan ringkasannya
karya Ibnu ‘Utsaimin.
0 komentar:
Posting Komentar