Non-muslim Indonesia Bukan Zimmi
Karena itu, sebahagian ketentuan fikih klasik mengenai kaum zimmi (kaum
yang ditaklukkan) tentu saja tidak berlaku untuk non-muslim di Indonesia, sebab
berdasarkan semangat Piagam Madinah di zaman Nabi, non-muslim yang sama
kedudukannya dengan kaum muslimin dalam suatu ikatan konstitusi, diakui
eksistensinya sebagai umat, dan tidak diistilahkan sebagai zimmi. Karena bukan
zimmi, maka jelas; tidak berlaku jizyah.
Dalam terminologi fiqhi (fikih) Islam
klasik, non-muslim disebut zimmi, yang diartikan sebagai kaum yang hidup dalam
pemerintahan Islam yang dilindungi keamanan hidupnya dan dibebaskan dari
kewajiban militer dan zakat, namun diwajibkan membayar pajak (jizyah). Akan
tetapi, harus dipahami bahwa pengertian zimmi seperti ini adalah persis yang
berlaku di zaman penaklukan wilayah oleh pemerintahan politik Islam, yang
berlangsung secara besar-besaran sejak zaman Khulafaurrasyidin, kemudian
dimapankan dalam zaman Daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah sesudahnya.
Ketika terjadi penaklukan wilayah di
zaman itu, maka kaum non-muslim diberi alternatif, yakni memeluk Islam atau
tetap dalam agamanya dan rela hidup dan diatur oleh pemerintahan politik Islam
yang menaklukkannya. Mereka yang memilih tetap pada agamanya dan taat bersama
pada pemerintahan Islam yang berkuasa dan melindungi keamanan hidupnya, itulah
yang disebut zimmi. Pengertian zimmi seperti ini sebenarnya tidak berlaku
ketika Rasulullah memimpin negara Madinah, sebab meskipun pemerintahan berada
di tangan Rasulullah Saw, namun kaum non-muslim turut serta sebagai warga
negara yang sama kedudukannya dengan kaum muslimin. Artinya, keberadaan dan
kehidupan kaum non-muslim di Madinah bersama dengan kaum muslimin bukan
merupakan hasil dari sebuah proses penaklukan. Rasulullah Saw dan umat Islam
yang berhijrah ke Madinah bukan datang menaklukkan Madinah dan menguasai secara
politik penduduk Madinah yang sebahagiannya non-muslim. Malah, beliau diundang
bersama umat Islam berhijrah dari Makkah dan diterima secara damai setibanya di
Madinah.
Karena itu keberadaan dan kehidupan
non-muslim di Madinah bukanlah karena kaum muslimin melindungi mereka,
melainkan non-muslim itu sendiri sudah berada dan hidup di Madinah sebagai
negerinya sendiri. Bahkan mereka lebih dahulu ada di sana ketimbang Rasulullah
Saw dan para Muhajirin, dan turut merestui kehadiran Rasulullah bersama para
Muhajirin. Non-muslim di Madinah, dengan keadaannya seperti itu, tidak disebut
zimmi, tetapi dikategorikan sebagai kelompok al-mu`ahidun yaitu golongan
non-muslim yang terikat perjanjian damai dengan muslim dalam suatu negeri
bersama. Itulah sebabnya, dalam Piagam Madinah yang disusun bersama antara
Rasulullah Saw dengan kaum non-muslim, disebutkan bahwa mereka saling
melindungi, bahu membahu menghadapi musuh bersama. Atau tegasnya, hubungan
antara Nabi Saw, Muhajirin dan kaum non-muslim di Madinah jauh sama sekali dari
pengertian saling menaklukkan antara mereka. Piagam Madinah pun tidak menyebut
mereka dengan istilah zimmi, melainkan dengan sebutan “ummat” yang sama
statusnya dengan umat Islam.
Rasulullah Saw memang pernah memberikan
petunjuk bagaimana memperlakukan non-muslim jika kasusnya berbeda dengan yang
ada di Madinah. Dalam hadis riwayat Imam Ahmad bersumber dari Sulaiman bin
Buraidah, menyangkut penaklukan politik terhadap non-muslim, antara lain Nabi
Saw menegaskan:
“Hentikanlah peperangan, kemudian ajaklah memeluk Islam,
jika ia terima maka kabulkanlah dan jaminlah keamanannya; kemudian ajaklah
untuk berpindah dari negerinya ke negeri muhajirin. Dan jika mereka lakukan itu
niscaya mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muhajirin.
Jika mereka menolak untuk pindah maka beritahukan bahwa mereka diperlakukan
sebagai a`rabnya orang-orang Islam dan terhadap mereka diberlakukan hukum Islam
seperti orang muslim lainnya, tetapi tidak berhak mendapatkan harta perolehan
dan rampasan perang kecuali jika mereka berjihad bersama dengan muslim lain.
Jika mereka tetap menolak status ini, maka mintalah dari mereka jizyah. Dan
jika mereka memenuhinya maka terimalah, kemudian jaminlah keamanan mereka.“
Hadis tersebut menunjukkan bahwa ada
perbedaan perlakuan terhadap non-muslim di Madinah dengan non-muslim yang
mengalami penaklukan politik di luar Madinah. Non-muslim yang ditaklukkan oleh
pasukan Islam di luar Madinah, diberi sejumlah alternatif pilihan. Salah satu
di antaranya ialah tetap menganut agamanya dan tetap berdiam di negerinya, dan
mereka harus membayar pajak. Mereka inilah yang disebut kaum zimmi, sesuai
dengan definisinya dalam sejumlah buku fikih.
Untuk kita di
Indonesia, nenek moyang kita telah berada sejak dahulu dan hidup di negeri ini
sebagai negerinya sendiri. Kemudian penganjur agama Islam datang, bukan sebagai
penakluk terhadap mereka. Mereka datang secara damai membawa barang dagangan
dan dakwah Islam. Kemudian sebagian generasi bangsa ini menganut Islam,
sebagian lagi menganut agama Kristen, Hindu, dan Budha, dan sebagian masih
tetap pada kepercayaan lama. Semua hidup dan punya hak yang sama di negerinya
sendiri.
Setelah bangsa
Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda dan Inggris, umat Islam dan sebagian
non-muslim bersama-sama lagi berjuang memerdekakan bangsa. Karena itu, kasus
non-muslim di Indonesia persis sama dengan kasus non-muslim di Madinah ketika
Rasulullah membangun kota itu menjadi sebuah negara, yakni sama kedudukannya
dengan umat Islam yang mayoritas. Karena sama kedudukannya dengan umat Islam,
kemudian terikat oleh satu konstitusi negara yang mempersatukannya, maka
non-muslim di Indonesia dikategorikan sebagai kelompok mu`ahidun yang punya hak
hidup sama dengan muslim tanpa membayar jizyah. Mereka bersama dengan kaum
muslimin membayar pajak, bukan berupa upeti untuk imbalan perlindungan keamanan
dari kaum muslimin, melainkan semata-mata atas kesadaran akan kewajiban bersama
membangun negara. Urusan mempertahankan keamanan adalah kewajiban bersama,
seperti pula dengan praktik di zaman Rasulullah berdasarkan Piagam Madinah,
bahwa muslim dan non-muslim saling melindungi dan bersama-sama menghadapi musuh
mereka dari luar.
Karena itu, sebahagian ketentuan fikih
klasik mengenai kaum zimmi (kaum yang ditaklukkan) tentu saja tidak berlaku
untuk non-muslim di Indonesia, sebab berdasarkan semangat Piagam Madinah di
zaman Nabi, non-muslim yang sama kedudukannya dengan kaum muslimin dalam suatu
ikatan konstitusi, diakui eksistensinya sebagai umat, dan tidak diistilahkan
sebagai zimmi. Karena bukan zimmi, maka jelas; tidak berlaku jizyah.
Jizyah ini, hanya diberlakukan atas
mereka yang berstatus zimmi. Timbulnya pemungutan jizyah atas orang zimmi
dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan mereka kepada negeri dan pemerintahan
Islam yang melindungi dan menjamin keamanannya, yang sebelumnya menaklukkan
mereka. Karena itu, kaum non-muslim yang hidup bersama dengan muslim sejak awal
di negerinya dibebaskan dari jizyah, karena tidak terlibat dalam proses
peperangan dan penaklukan. Bahkan non-muslim yang ditaklukkan lewat peperangan
saja, jika tidak juga terlibat dalam peperangan secara langsung, dibebaskan
pula dari jizyah, seperti anak-anak, perempuan, dan orang tua jompo. Demikian
pula para petani dan peternak yang hanya menekuni profesinya dan tidak
melibatkan diri dalam perang, menurut Imam Ahmad berdasarkan riwayat dari Umar
RA, juga tidak dikenakan jizyah.
Pemungutan jizyah di zaman Rasulullah,
berlaku pada tahun 9 H, ketika jizyah dipungut dari kaum Najran, sebagai
kelompok pertama yang dipungut jizyahnya. Jizyah tidak dipungut dari Bani
Taglab, suku Arab yang Kristen, kecuali sedekah sukarela. Ini karena mereka
hidup bersama damai dengan Islam, dan mereka hanya giat dalam agamanya.
Demikian juga riwayat tentang Arab Kristen dari Bani Tanukh dan Bahra, Umar RA
berdamai dengan mereka, tanpa memungut jizyah, tetapi mereka membayar sendiri
sedekah sukarela yang jumlahnya seringkali lebih besar dari jizyah itu sendiri.
Karena yang dipungut itu adalah sedekah, maka para fakir non-muslim juga berhak
memperoleh bagian dari sedekah yang dipungut itu, berdasasrkan hadis Nabi
tu`khaz min aghniya-ihim wa turaddu `ala fuqara-ihim (sedekah itu dipungut dari
orang kaya mereka dan dikembalikan kepada fakir miskin mereka). Wallahu A`lam
bi al-Shawab.
* Penulis adalah Guru Besar (Prof.) Teologi Islam Moderen, dosen Ushul Fikih
Pasca Sarjana IAIN Alauddin dan UMI Makassar, Ketua MUI Sul-Sel, Bidang
Ukhuwah, hubungan Ulama-Umara.
0 komentar:
Posting Komentar