Aturan Berfatwa
170>> Yang diperintahkan bagi setiap muslim adalah menjadikan semua
perbuatannya berkesesuaian dengan syariat Islam dan menerima semua hukum islam.
Begitu juga dalam segi pergaulannya dengan orang lain harus didasari dengan
syariat Islam. Maka karena itu wajib bagi semua yang tidak tahu untuk
mengetahui akan syariat Islam agar perbuatannya sesuai dengan batasab syariat.
Dan salah satu usahanya adalah dengan adanya ulama yang berperan aktif dalam
menyampaikan ilmunya dan bertanyanya
orang awam kepada ulama dalam masalah hukum Islam.
171>> Mengajarkan dan menyampaikna syariat Islam adalah sudah menjadi
kewajiban yang diwajibkan oleh islam kepada orang yang berilmu. Maka sudah
selayaknya seorang ulama untuk mengajari orang awam tentang syariat islam
sesuai kebutuhan mereka. Dan akan semakin bertambah tingkat kewajibannya
tatkala kebodohan akan syariat Islam merajalela di masyarakat, tatkala
berkurangnya kegiatan transfer ilmu akan syariat Islam dan tatkala kebida’ahan
semakin nampak. Jika ulama menahan ilmunya tidak menyampaikan kewajibannya dan
tidak mengajarkan ilmu yang dimilikinya maka ia telah berdosa karena ia telah
menyembunyikan ilmunya yang semestinya disebarluaskan dan diajarkan kepada
masyarakat. Dan jika para ulama sudah terjun ke medannya untuk menyampaik
ilmunya maka wajib bagi masyarakat untuk menerima, mendengar dan
mempelajarinya dan selanjutnya mengamalakannya.
Jika masyarakat tidak mendengarkannya dan bahkan menolaknya maka telah berdosa.
172>> Jika ulama tidak menyampaikan ilmunya maka sungguh orang yang
bodoh akan tetap tidak tahu akan syariat islam bahkan akan bertambah jumlah
mereka. Begitu juga ulama maka sungguh mereka telah melalaikan amanah dan
kewajibannya. Oleh karena itu wajib bagi orang awam untuk mencari tahu tentang
urusan agamanya, Allah SWT berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ
إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”(An-Nahl:43)
Kewajiban untuk mencari
ilmu tentang syariat islam tidaklah gugur dengan kurangnya peran ulama dalam
menyampaikan ilmunya. Maka tetap wajib bagi orang awam untuk bertanya orang
kepada ulama tentang apa yang tidak mereka ketahui dalam urusan agamanya. Ulama wajib untuk menjawab pertanyaan orang awam selama ia mampu untuk
menjawabnya.
173>> orang awam bertanya dan orang alim menjawab
Definisi Ifta:
174>> Menurut bahasa: dalam Lisanul Arab Ibnu Mandzur: أفتاه في الأمر artinya dia menjelaskan masalah itu kepada seseorang.
و أفتاه في المسألة يفتيه artinya Dia menjawabnya jawabannya itu adalah fatwa. و استفتيته فأفتني افتاء saya meminta fatwa dan maka ia memberikan fatwa. Kata
fatwa adalah nama bagi ifta, dan kata الفتيا و الفتوى
adalah apa yang difatwakan seorang yang faqih. Dari sini bisa disimpulkan الإستفتاء adalah pertanyaan akan suatu hukum atau suatu perkara
dan yang bertanya disebut المستفتي. Yang ditanya dan yang
menjawab adalah المفتي ketika ia menjawab maka disebut الإفتاء dan jawabannya adalah الفتوى. Maka ifta harus
meliputi adanya Almustafti, Almufti, Alifta dan Alfatwa.
175>> Menurut Istilah: sama seperti definisi bahasa yaitu meliputi
adanya yang minta fatwa (مستفت) ,
yang berfatwa (مفت), berfatwa (افتاء) dan jawaban (الفتوى). Tapi dengan satu ikatan yaitu bahwa masalah yang
ditanyakan adalah tentang permasalahan syariat Islam dan hukum yang ditanyakan
adalah hukum syar’i.
Dengan begitu dalam aturan fatwa mustafti adalah orang yang yang
bertanya tentang hukum sebuah masalah syar’i. Mufti adalah orang yang
menjawab pertanyaan tadi dan tindakannya menjawab pertanyaan disebut ifta dan
jawabannya adalah fatwa.
176>> Seperti telah dijelaskan tentang definisi ifta diatas maka
pembahasan berikutnya adalah pembahasan tentang mustasfi, mufti, ifta dan
fatwa.
Mustatfi
177>> Mustafti adalah yang bertanya akan hukum syar’i suatu masalah.
Karena dia tidak tahu tentang hukum masaah itu, ia bertanya agar mengerti
kemudian mengamalkan apa yang difatwakan. Namun apakah wajib bagi setiap orang
yang tidak tahu tentang hukum syar’i untuk bertanya sehingga ia mengetahuinya?
Atau bagi orang yang tahu atau mampu untuk mengetahuinya dengan usahanya
sendiri apakah wajib baginya untuk bertanya? Adapun jawabannya berbeda-beda
seiring berbeda-bedanya keadaan seseorang. Ada yang haram untuk minta fatwa,
ada yang dianjurkan juga ada yang dubolehkan.
178>> Haram meminta fatwa: 1. Mujtahid, karena haram baginya
bertaqlid kepada orang lain dan baginya adalah berijtihad dalam sebuah perkara
sampai ia paham betul akan hukumnya dengan yakin dan setelah ia yakin akan hal
itu haram baginya untuk menanyakan hal itu kepada selainnya. Pengharaman disini
berkaitan dengan halnya meminta fatwa yang maka maksudnya adalah bertaqlid
kepada orang yang berfatwa atas fatwanya. Adapun jika pertanyaannya adalah
untuk berdiskusi, musyawarah, penel;itian atau menguji maka itu diperbolehkan.
Dan jika ternyata yang benar adalah fatwa selainnya maka wajib baginya
mengikuti fatwa tersebut.
179>> Kami mengatakan bahwa
berijtihad berpahala, maka seorang muslim baginya mempunyai hak untuk
berijtihad dalam beberapa masalah dan tidak dalam bagian yang lain. Oleh karena
itu pada suatu masalah ia berkedudukan sebagi seorang mujahid mutlak maka tidak
boleh minta fatwa kepada selainya dan taqlid kepadanya. Begitu juga dalam
maslah yang itu tidak mampu untuk berijtihad maka kedudukannya bukan seorang
mujtahid maka wajib baginya bertanya dan meminta fatwa.
180>> yang wajib meninta fatwa adalah semua orang yang kedudukannya
bukan seorang mujtahid dan baginya wajib mengetahuai permasalahan itu maka
syarat meminta fatwa ada dua:
1.
Bukan seorang mujtahid, disebabkan tidak mampu berijtihad dalam masalah
tersebut atau benar-benar awam atau karena tidak punya kesempatan umtuk
meneliti atau karena sebab lainnya.
2.
Karena wajib mengetahui hukum itu, kewajiban ini berbeda-beda pada setiap
orangnya. Bagi orang yang telah baligh dan berakal ia wajib mengetahui hukum-hukum
permasalahan sholat, jika masuk bulan ramadhan wajib baginya mengetaui tentang
hukum puasa, jika ia mempunyai harta dan telah sampai nishobnya wajib baginya
mengetahui tentang zakat dan jika mampu berhaji wajib baginya untuk mengetahui
hukum haji. Maka bagi siapa yang baginya terkena suatu kewajjiban melaksanakan
suatu ibadah itu, maka ia wajib untuk bertanya kepada ulama jika ia belum tahu.
181. ringkasnya
wajib bagi setiap orang awam untuk bertanya kepada mufti atau ulama tentang
hokum yang dihadapinya
Yang dibolehkan
182. dibolehkan
bagi selain mujtahid untuk meminta fatwa dalam hal yang bukan suatu keharusan
baginya untuk mengetahui hal tersebut, seperti orang awam yang baginya belum
wajib untuk berhaji(karena financial) maka ia tidak wajib mengetahui perihal
hokum-hukum dengan begitu ia tidak wajib untuk bertanya dalam masalah haji
namun boleh baginya untuk bertanya. Karena mengetahui hokum-hukum syar’I dan
membekali diri dengan pengetahuan ini adalah suatu hal yang dianjurkan bagi
setiap muslim. Maka jika hal ini dianjurkan sudah pasti hal itu diperbolehkan.
183. namun
apakah boleh bagi seorang yang bukan mujtahid bertanya tentang suatu hokum yang
tidak wajib baginya untuk mengetahui dan hal yang ditanyakan itu belum pernah
terjadi? Ada dua pendapat ulama:
Pendapat
pertama:
Makruh,
pendapat ini diambil dari Imam Malik. Imam Malik rahimahullah tidak
menyukai pertanyaan tentang suatu hokum yang belum terjadi. Oleh karena itu
sebagian murid-muridnya jika bertanya kepada Imam Malik tentang suatu hokum hal
yang belum terjadi mereka menanyakan seakan-akan hal itu sudah terjadi. Adapun
sebab makruhya adalah menurut sebagian ulama adalah karena member fatwa dalam
urusan agama merupaka hal yang sangat berbahaya dan tanggung jawab yang besar.
Karena berfatwa dalam urusan agama adalah menyampaikan syariat Allah dan hukumnya
dan tidak diperbolehkan kecuali setelah meneliti dengan
penuh kesungguhan orang yang sanggup berijtihad. Jika seorang mujtahid
lalai/tidak hati-hati maka baginya pertanggungjawabannya. Dan selama suatu
perkara belum terjadi tidak perlu dan tidak penting untuk meminta fatwa
tentangnya. Keselamtan dan kehatihatian dalam agama menuntut untuk tidak
berfatwa dalam hal yang belum terjadi. Karena kadang ijtihad seorang mujtahid dapat
berubah maka tidak ada keperluan untuk cepat-cepat berfatwa dalam maslah yang
belu terjadi. Kemungkinan yang akan terjadi juga jika ijtihad seorang mujtahid
berubah dan hal yang dimintai fatwa sebelumnya terjadi dan mujtahid tidak bisa
memberi tahukan ijtihadnya yang baru kepada orang yang minta fatwa. Maka oleh
karena itu semua bagi seorang mufti yang lebih baik adalah menolak memberi
fatwa tentang masalah yang belum terjadi seperti harusnya seorang awam bertanya
apa-apa yang dibutuhkannya dan yang sedang terjadi padanya dan meninggalkan
bertanya tentang apa yang belu terjadi.
184. pendapat kedua adalah tidak dimakruhkan jika maksud pertanyaannya
adalah untuk mengetahui hukumnya terlebih dahulu karena ada kemungkinan
terjadinya suatu perkara dan ini yang kami rajihkan jika dalam hal itu tidak
membawa madhorot namun untuk kehati-hatian jika perkara itu terjadi karena kemungkinan
pada saat perkara itu terjadi, orang yang mengalaminya tidak bisa bertanya lagi
kepada ulama karena beberapa halangan. Jika ada orang yang sangat ingin
mengetahui suatu hukum perkara yang belum terjadi maka keinginannya itu tidak
salah dan seorang mufti harus menjawabnya karena kedunya (yang betanya dan yang
menjawab) tidaklah bersalah. Dan berkenaan pendapat ini kami mendapatkan
sebagian ulama membayangkan suatu masalah yang akan terjadi dan mengira-ngira
dan menjawabnya yang kemudian mencatatnya yang dengan catatan itu orang bisa
tahu tentang hukum itu.
Bertanya Kepada Orang Shalih
185. meminta fatwa yang hukumnya wajib atau mubah haruslah bertanya kepada
orang yang benar untuk dimintai fatwa. Karena fatwa yang diminta berkaitan
agama yang harus berhati-hati dalam hal ini maka ia bertanya kepada orang yang
layak berfatwa. Namun bagaimana seorang awam mengetahui orang yang soleh untuk
betanya kepadanya? Yaitu dengan bertanya atau pemberitahuan dari orang yang
tsiqoh atau karena sudah terkenal dikalangan masyarakat, dan ini sesuai
kemampuan orang awam tersebut.
186. jika tidak ditemukan seorang pun yang layak berfatwa di negerinya maka
hendaklah pergi ke tempat yang disana ada orang yang layak. Salafu sholih
dahulu jika ada suatu masalah yang harus diketahui dan tidak ditemukan orang
yang mengerti dalam hal itu dinegerinya mereka pergi menuju tempat orang alim.
Meminta fatwa kepada yang paling sholeh
187. jiak wajib betanya kepada orang sholih apakah wajib juga baginya untuk
memilih orang yang paling sholih jika terdapagt banyak orang yang ahli fatwa di
negerinya?
Dalam perkara ini ada dua pendapat ulama:
Pendapat pertama: tidak wajib baginya untuk memilih orang yang paling
sholih diantara mereka. Boleh baginya untuk meminta fatwa kepada siapa saja
yang ia kehendaki dari beberapa ahli fatwa selama meraka benar dalam berfatwa.
Karena orang awam tidak mampu untuk mengetahui siapa yang paling sholih
diantara mereka itu juga tidak bisa mengukur seseorang dan menentukan kedudukan
tingkatan ilmunya. Dan tidak ada kewajiban bagi yang tidak mampu.
Pendapat kedua: wajib baginya uintuk memilih orang yang paling benar/sholih
dan meminta fatwa darinya saja tidak kepada yang lainnya. Dan tidak ada
kewajiban bagi yang tidak mampu. Dan ini bukan merupakan kewajiban yang tidak
ada kemampuan untuk melaksanakannya. Karena bisa betanya atau mendengar berita
dari orang tsiqoh atau karena orang yang paling sholih itu sudah terkenal dan
ini mampu dilakukan. Dan jika tidak bisa mengetahui mana yang lebih sholih maka
tidak ada celaan baginya.
188. Adapunyang rajih adalah pendapat yang pertama karena para
shalafusholeh dari kalangan sahabat dan tabiin tidak mewajibkan untuk meminta
fatwa kepada orang yang paling sholih atau untuk mencarinya ini menunjukan
bolehnya minta fatwa kepada orang yang sholih tanpa harus ke orang yang palinga
sholih. Maka dianjurkan untuk memilih orang yang paling sholih jika tidak ada
kesulitan baginya.
Siapakah yang paling sholih
189. jika memilih orang yang paling sholih itu wajib menurut pendapat yang
pertama atau karena dianjurkan maka siapakah oarang yang paling sholih itu?
Menurut pendapat ulama bahwa yang paling sholih itu adalah yang paling tahu dan
paling waro’. Teatapi siapakah yang lebih utama antara orang yang lebih tahu
dengan yang lebih waro’? dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: bertanya kepada yang lebih tahu karena dia yang lebih
berhak/tepat/sholih dan hanya kepadanyalah meminta fatwa karena masalah fatwa
adalah tewntang ilmu dan selama dia yang lebih mengerti maka dia lebih utama
untuk untuk berfatwa
Pendapat kedua: yang lebih utama adalah orang yang waro’, kepadanyalah
bertanya tidak ke yang lainnya. Yang mengambil pendapat ini berdalil dengan
dengan firman Allah:
{اتقوا الله و يعلمكم الله}
Dan dengan
perkataan salafusholih: “sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari
mana kamu mengambilnya”
190. dan yang
rajih adalah meminta fatwa kepada orang yang waro’ karena ilmu yang dimilikinya
sudah memadai untuk berfatwa dan kewaro’annya menjaganya dari sewenang-wenang
dan terlalu mempermudah dalam berfatwa dan menjauhkannya dari hawa nafsu.
Sebagaimana sifat waro’nya membutanya mencari dengan sangat teliti untuk
mengetahui suatu hukum yang shohih. Oleh karena itu semua dan keikhlasan
niyatnya menjadikannya lebih utama dalam berfatwa. Bahkan pada zaman sekarang
ini orang yang lebih waro’ adalah yang lebih berhak berfatwa dibandingkan yang
lainnya karena sedikitnya orang yang waro’ dan banyaknya ulama. Dan merupaka
kehati-hatian dalam perkara agama adalah meminta fatwa kepada orang yang lebih
waro’ selama orang yang waro’ itu memiliki ilmu yang memadai dan menionggalkan
orang yang lebih banyak ilmunya yang tidak waro’ atau yang waro’ yang tidak
punya ilmu yang tidak memadai untuk berfatwa.
Minta fatwa ke
beberapa mufti
191. jika belum
meyakinkan atas jawaban mufti apa yang harus dilakukan? Baginya untuk bertanya
ke yang lainnya. Tapi bagaimana jika fatwanya berselisih? Dalam hal ini ada
beberapa pendapat:
Penadapat
pertama: mengambil fatwa yang melarangnya dan meninggalkan yang membolehkan
karena hal itu lebih hati-hati
Pendapat kedua:
mengambil fatwa yang lebih meringankan sesuai dengan firman Allah:
{يريد الله بكم اليسر و لا يريد بكم العسر}
Dan Rasulullah
bersabda: “Sesunngguhnya Allah menyukai engaku mengambil rukhsohnya seperti
engkau menyukai jika engkau mengembil apa yang engkau inginkan”
Pendapat
ketiga: memilih yang paling tahu dan waro’ dan bertanya padanya dan mengambil
fatwanya. Jika hanya ada yang lebih tahu saja atau yang lebih waro’ saja maka
bertanya kepada yang lebih waro’.
Pendapat
keempat: mengambiil fatwa yang sesuai
dengan fatwa yang lain karena saling menguatkan dengan banyaknya dalil dan
bertambanya keyakinan bahwa fatwa itu yang rajih
Pendapat
kelima: memilih sekehendaknya kerena semuanya ahli fatwa
192. yang rajih
adalah dilihat dari beberapa pertimbangan:
Jika sudah
bertanya kepada yang lebih tahu dan waro’ maka ambil fatwanya tanpa harus
mempertimbangkan dan terpengaruh ketidak tenangan hati dan tidak boleh bertanya
kepada yang lainnya.
Jika belum
bertanya kepada yang lebih tahu dan waro’ maka harus memilih yang lebih tahu
dan waro’ itu dan kemudian betanya kepadanya dan mengambil fatwanya.
Jika hanya ada
yang lebih tahu dan yang waro’ maka ambil yang waro’.
Jika dalam hal
keilmuan dan waro’nya sama maka dia harus bertany kepada semunya dan mengambil
yang banyak disepakati namun jika semuanya berselisih maka ambilah yang punya
dalil yang kuat dan jika tidak ada dalil yang shohih maka yang rajih adalah
dariyang lebih tahu dan waro’ dan kemudian pendapat yang waro’. Jika tidak
seperti itu juga maka yang rajih adalah yang dengannya hati menjadi tenang dan
mengamalkannya nuga tenang sesuai sabda Nabi : “tinggalkanlah yang meragukanmu
dan ambil yang tidak meragukanmu”
Mengulang
meminta fatwa
193. jika telah
meminta fatwa apakah bagiinya mengulang pertanyaan itu jika perkara yang
ditanyakan terjadi lagi padanya atau tetap mengamalkan fatwa yang pertama?
Dalam hal ini
ada dua pendapat:
Yang pertama:
wajib mengulang meminta fatwa lagi karena kemungkinan berubahnya fatwa
Yang kedua:
tidak wajib mengulang karena sudah tahu akan fatwa dalam masalah itu maka tidak
wajib untuk betnya lagi.
194. yang
rajih:
Jika yang
dimintai fatwa pertama kali adalah yang lebih tahu dan lebih waro’ maka tidak
usah mengulang lagi bertanya. Jka bukan yang alim dan waro’ dan ketika masalah
itu terjadi lagi padanya dan ada yang lebih tahu maka baginy bertanya lagi
0 komentar:
Posting Komentar