Pengikut

Pages

Senin, 17 Desember 2012

ATURAN BERFATWA



Aturan Berfatwa
170>> Yang diperintahkan bagi setiap muslim adalah menjadikan semua perbuatannya berkesesuaian dengan syariat Islam dan menerima semua hukum islam. Begitu juga dalam segi pergaulannya dengan orang lain harus didasari dengan syariat Islam. Maka karena itu wajib bagi semua yang tidak tahu untuk mengetahui akan syariat Islam agar perbuatannya sesuai dengan batasab syariat. Dan salah satu usahanya adalah dengan adanya ulama yang berperan aktif dalam menyampaikan ilmunya dan bertanyanya  orang awam kepada ulama dalam masalah hukum Islam.
171>> Mengajarkan dan menyampaikna syariat Islam adalah sudah menjadi kewajiban yang diwajibkan oleh islam kepada orang yang berilmu. Maka sudah selayaknya seorang ulama untuk mengajari orang awam tentang syariat islam sesuai kebutuhan mereka. Dan akan semakin bertambah tingkat kewajibannya tatkala kebodohan akan syariat Islam merajalela di masyarakat, tatkala berkurangnya kegiatan transfer ilmu akan syariat Islam dan tatkala kebida’ahan semakin nampak. Jika ulama menahan ilmunya tidak menyampaikan kewajibannya dan tidak mengajarkan ilmu yang dimilikinya maka ia telah berdosa karena ia telah menyembunyikan ilmunya yang semestinya disebarluaskan dan diajarkan kepada masyarakat. Dan jika para ulama sudah terjun ke medannya untuk menyampaik ilmunya maka wajib bagi masyarakat untuk menerima, mendengar dan mempelajarinya  dan selanjutnya mengamalakannya. Jika masyarakat tidak mendengarkannya dan bahkan menolaknya maka telah berdosa.
172>> Jika ulama tidak menyampaikan ilmunya maka sungguh orang yang bodoh akan tetap tidak tahu akan syariat islam bahkan akan bertambah jumlah mereka. Begitu juga ulama maka sungguh mereka telah melalaikan amanah dan kewajibannya. Oleh karena itu wajib bagi orang awam untuk mencari tahu tentang urusan agamanya, Allah SWT berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”(An-Nahl:43)
Kewajiban untuk mencari ilmu tentang syariat islam tidaklah gugur dengan kurangnya peran ulama dalam menyampaikan ilmunya. Maka tetap wajib bagi orang awam untuk bertanya orang kepada ulama tentang apa yang tidak mereka ketahui dalam urusan agamanya. Ulama wajib untuk menjawab pertanyaan orang awam selama ia mampu untuk menjawabnya.
173>> orang awam bertanya dan orang alim menjawab
 Definisi Ifta:
174>> Menurut bahasa: dalam Lisanul Arab Ibnu Mandzur: أفتاه في الأمر artinya dia menjelaskan masalah itu kepada seseorang. و أفتاه في المسألة يفتيه artinya Dia menjawabnya jawabannya itu adalah fatwa. و استفتيته فأفتني افتاء saya meminta fatwa dan maka ia memberikan fatwa. Kata fatwa adalah nama bagi ifta, dan kata الفتيا و الفتوى adalah apa yang difatwakan seorang yang faqih. Dari sini bisa disimpulkan الإستفتاء adalah pertanyaan akan suatu hukum atau suatu perkara dan yang bertanya disebut المستفتي. Yang ditanya dan yang menjawab adalah المفتي ketika ia menjawab maka disebut الإفتاء dan jawabannya adalah الفتوى. Maka ifta harus meliputi adanya Almustafti, Almufti, Alifta dan Alfatwa.
175>> Menurut Istilah: sama seperti definisi bahasa yaitu meliputi adanya yang minta fatwa (مستفت) , yang berfatwa (مفت), berfatwa (افتاء) dan jawaban (الفتوى). Tapi dengan satu ikatan yaitu bahwa masalah yang ditanyakan adalah tentang permasalahan syariat Islam dan hukum yang ditanyakan adalah hukum syar’i.
Dengan begitu dalam aturan fatwa mustafti adalah orang yang yang bertanya tentang hukum sebuah masalah syar’i. Mufti adalah orang yang menjawab pertanyaan tadi dan tindakannya menjawab pertanyaan disebut ifta dan jawabannya adalah fatwa.
176>> Seperti telah dijelaskan tentang definisi ifta diatas maka pembahasan berikutnya adalah pembahasan tentang mustasfi, mufti, ifta dan fatwa.

Mustatfi
177>> Mustafti adalah yang bertanya akan hukum syar’i suatu masalah. Karena dia tidak tahu tentang hukum masaah itu, ia bertanya agar mengerti kemudian mengamalkan apa yang difatwakan. Namun apakah wajib bagi setiap orang yang tidak tahu tentang hukum syar’i untuk bertanya sehingga ia mengetahuinya? Atau bagi orang yang tahu atau mampu untuk mengetahuinya dengan usahanya sendiri apakah wajib baginya untuk bertanya? Adapun jawabannya berbeda-beda seiring berbeda-bedanya keadaan seseorang. Ada yang haram untuk minta fatwa, ada yang dianjurkan juga ada yang dubolehkan.
178>> Haram meminta fatwa: 1. Mujtahid, karena haram baginya bertaqlid kepada orang lain dan baginya adalah berijtihad dalam sebuah perkara sampai ia paham betul akan hukumnya dengan yakin dan setelah ia yakin akan hal itu haram baginya untuk menanyakan hal itu kepada selainnya. Pengharaman disini berkaitan dengan halnya meminta fatwa yang maka maksudnya adalah bertaqlid kepada orang yang berfatwa atas fatwanya. Adapun jika pertanyaannya adalah untuk berdiskusi, musyawarah, penel;itian atau menguji maka itu diperbolehkan. Dan jika ternyata yang benar adalah fatwa selainnya maka wajib baginya mengikuti fatwa tersebut.
179>>  Kami mengatakan bahwa berijtihad berpahala, maka seorang muslim baginya mempunyai hak untuk berijtihad dalam beberapa masalah dan tidak dalam bagian yang lain. Oleh karena itu pada suatu masalah ia berkedudukan sebagi seorang mujahid mutlak maka tidak boleh minta fatwa kepada selainya dan taqlid kepadanya. Begitu juga dalam maslah yang itu tidak mampu untuk berijtihad maka kedudukannya bukan seorang mujtahid maka wajib baginya bertanya dan meminta fatwa.
180>> yang wajib meninta fatwa adalah semua orang yang kedudukannya bukan seorang mujtahid dan baginya wajib mengetahuai permasalahan itu maka syarat meminta fatwa ada dua:
1.      Bukan seorang mujtahid, disebabkan tidak mampu berijtihad dalam masalah tersebut atau benar-benar awam atau karena tidak punya kesempatan umtuk meneliti atau karena sebab lainnya.
2.      Karena wajib mengetahui hukum itu, kewajiban ini berbeda-beda pada setiap orangnya. Bagi orang yang telah baligh dan berakal ia wajib mengetahui hukum-hukum permasalahan sholat, jika masuk bulan ramadhan wajib baginya mengetaui tentang hukum puasa, jika ia mempunyai harta dan telah sampai nishobnya wajib baginya mengetahui tentang zakat dan jika mampu berhaji wajib baginya untuk mengetahui hukum haji. Maka bagi siapa yang baginya terkena suatu kewajjiban melaksanakan suatu ibadah itu, maka ia wajib untuk bertanya kepada ulama jika ia belum tahu.
181. ringkasnya wajib bagi setiap orang awam untuk bertanya kepada mufti atau ulama tentang hokum yang dihadapinya

Yang dibolehkan
182. dibolehkan bagi selain mujtahid untuk meminta fatwa dalam hal yang bukan suatu keharusan baginya untuk mengetahui hal tersebut, seperti orang awam yang baginya belum wajib untuk berhaji(karena financial) maka ia tidak wajib mengetahui perihal hokum-hukum dengan begitu ia tidak wajib untuk bertanya dalam masalah haji namun boleh baginya untuk bertanya. Karena mengetahui hokum-hukum syar’I dan membekali diri dengan pengetahuan ini adalah suatu hal yang dianjurkan bagi setiap muslim. Maka jika hal ini dianjurkan sudah pasti hal itu diperbolehkan.

183. namun apakah boleh bagi seorang yang bukan mujtahid bertanya tentang suatu hokum yang tidak wajib baginya untuk mengetahui dan hal yang ditanyakan itu belum pernah terjadi? Ada dua pendapat ulama:
Pendapat pertama:
Makruh, pendapat ini diambil dari Imam Malik. Imam Malik rahimahullah tidak menyukai pertanyaan tentang suatu hokum yang belum terjadi. Oleh karena itu sebagian murid-muridnya jika bertanya kepada Imam Malik tentang suatu hokum hal yang belum terjadi mereka menanyakan seakan-akan hal itu sudah terjadi. Adapun sebab makruhya adalah menurut sebagian ulama adalah karena member fatwa dalam urusan agama merupaka hal yang sangat berbahaya dan tanggung jawab yang besar. Karena berfatwa dalam urusan agama adalah menyampaikan syariat Allah dan hukumnya dan tidak diperbolehkan kecuali setelah meneliti dengan penuh kesungguhan orang yang sanggup berijtihad. Jika seorang mujtahid lalai/tidak hati-hati maka baginya pertanggungjawabannya. Dan selama suatu perkara belum terjadi tidak perlu dan tidak penting untuk meminta fatwa tentangnya. Keselamtan dan kehatihatian dalam agama menuntut untuk tidak berfatwa dalam hal yang belum terjadi. Karena kadang ijtihad seorang mujtahid dapat berubah maka tidak ada keperluan untuk cepat-cepat berfatwa dalam maslah yang belu terjadi. Kemungkinan yang akan terjadi juga jika ijtihad seorang mujtahid berubah dan hal yang dimintai fatwa sebelumnya terjadi dan mujtahid tidak bisa memberi tahukan ijtihadnya yang baru kepada orang yang minta fatwa. Maka oleh karena itu semua bagi seorang mufti yang lebih baik adalah menolak memberi fatwa tentang masalah yang belum terjadi seperti harusnya seorang awam bertanya apa-apa yang dibutuhkannya dan yang sedang terjadi padanya dan meninggalkan bertanya tentang apa yang belu terjadi.

184. pendapat kedua adalah tidak dimakruhkan jika maksud pertanyaannya adalah untuk mengetahui hukumnya terlebih dahulu karena ada kemungkinan terjadinya suatu perkara dan ini yang kami rajihkan jika dalam hal itu tidak membawa madhorot namun untuk kehati-hatian jika perkara itu terjadi karena kemungkinan pada saat perkara itu terjadi, orang yang mengalaminya tidak bisa bertanya lagi kepada ulama karena beberapa halangan. Jika ada orang yang sangat ingin mengetahui suatu hukum perkara yang belum terjadi maka keinginannya itu tidak salah dan seorang mufti harus menjawabnya karena kedunya (yang betanya dan yang menjawab) tidaklah bersalah. Dan berkenaan pendapat ini kami mendapatkan sebagian ulama membayangkan suatu masalah yang akan terjadi dan mengira-ngira dan menjawabnya yang kemudian mencatatnya yang dengan catatan itu orang bisa tahu tentang hukum itu.

Bertanya Kepada Orang Shalih
185. meminta fatwa yang hukumnya wajib atau mubah haruslah bertanya kepada orang yang benar untuk dimintai fatwa. Karena fatwa yang diminta berkaitan agama yang harus berhati-hati dalam hal ini maka ia bertanya kepada orang yang layak berfatwa. Namun bagaimana seorang awam mengetahui orang yang soleh untuk betanya kepadanya? Yaitu dengan bertanya atau pemberitahuan dari orang yang tsiqoh atau karena sudah terkenal dikalangan masyarakat, dan ini sesuai kemampuan orang awam tersebut.

186. jika tidak ditemukan seorang pun yang layak berfatwa di negerinya maka hendaklah pergi ke tempat yang disana ada orang yang layak. Salafu sholih dahulu jika ada suatu masalah yang harus diketahui dan tidak ditemukan orang yang mengerti dalam hal itu dinegerinya mereka pergi menuju tempat  orang alim.

Meminta fatwa kepada yang paling sholeh
187. jiak wajib betanya kepada orang sholih apakah wajib juga baginya untuk memilih orang yang paling sholih jika terdapagt banyak orang yang ahli fatwa di negerinya?
Dalam perkara ini ada dua pendapat ulama:
Pendapat pertama: tidak wajib baginya untuk memilih orang yang paling sholih diantara mereka. Boleh baginya untuk meminta fatwa kepada siapa saja yang ia kehendaki dari beberapa ahli fatwa selama meraka benar dalam berfatwa. Karena orang awam tidak mampu untuk mengetahui siapa yang paling sholih diantara mereka itu juga tidak bisa mengukur seseorang dan menentukan kedudukan tingkatan ilmunya. Dan tidak ada kewajiban bagi yang tidak mampu.
Pendapat kedua: wajib baginya uintuk memilih orang yang paling benar/sholih dan meminta fatwa darinya saja tidak kepada yang lainnya. Dan tidak ada kewajiban bagi yang tidak mampu. Dan ini bukan merupakan kewajiban yang tidak ada kemampuan untuk melaksanakannya. Karena bisa betanya atau mendengar berita dari orang tsiqoh atau karena orang yang paling sholih itu sudah terkenal dan ini mampu dilakukan. Dan jika tidak bisa mengetahui mana yang lebih sholih maka tidak ada celaan baginya.

188. Adapunyang rajih adalah pendapat yang pertama karena para shalafusholeh dari kalangan sahabat dan tabiin tidak mewajibkan untuk meminta fatwa kepada orang yang paling sholih atau untuk mencarinya ini menunjukan bolehnya minta fatwa kepada orang yang sholih tanpa harus ke orang yang palinga sholih. Maka dianjurkan untuk memilih orang yang paling sholih jika tidak ada kesulitan baginya.

Siapakah yang paling sholih
189. jika memilih orang yang paling sholih itu wajib menurut pendapat yang pertama atau karena dianjurkan maka siapakah oarang yang paling sholih itu? Menurut pendapat ulama bahwa yang paling sholih itu adalah yang paling tahu dan paling waro’. Teatapi siapakah yang lebih utama antara orang yang lebih tahu dengan yang lebih waro’? dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: bertanya kepada yang lebih tahu karena dia yang lebih berhak/tepat/sholih dan hanya kepadanyalah meminta fatwa karena masalah fatwa adalah tewntang ilmu dan selama dia yang lebih mengerti maka dia lebih utama untuk untuk berfatwa
Pendapat kedua: yang lebih utama adalah orang yang waro’, kepadanyalah bertanya tidak ke yang lainnya. Yang mengambil pendapat ini berdalil dengan dengan firman Allah:
{اتقوا الله و يعلمكم الله}
Dan dengan perkataan salafusholih: “sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari mana kamu mengambilnya”

190. dan yang rajih adalah meminta fatwa kepada orang yang waro’ karena ilmu yang dimilikinya sudah memadai untuk berfatwa dan kewaro’annya menjaganya dari sewenang-wenang dan terlalu mempermudah dalam berfatwa dan menjauhkannya dari hawa nafsu. Sebagaimana sifat waro’nya membutanya mencari dengan sangat teliti untuk mengetahui suatu hukum yang shohih. Oleh karena itu semua dan keikhlasan niyatnya menjadikannya lebih utama dalam berfatwa. Bahkan pada zaman sekarang ini orang yang lebih waro’ adalah yang lebih berhak berfatwa dibandingkan yang lainnya karena sedikitnya orang yang waro’ dan banyaknya ulama. Dan merupaka kehati-hatian dalam perkara agama adalah meminta fatwa kepada orang yang lebih waro’ selama orang yang waro’ itu memiliki ilmu yang memadai dan menionggalkan orang yang lebih banyak ilmunya yang tidak waro’ atau yang waro’ yang tidak punya ilmu yang tidak memadai untuk berfatwa.

Minta fatwa ke beberapa mufti
191. jika belum meyakinkan atas jawaban mufti apa yang harus dilakukan? Baginya untuk bertanya ke yang lainnya. Tapi bagaimana jika fatwanya berselisih? Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
Penadapat pertama: mengambil fatwa yang melarangnya dan meninggalkan yang membolehkan karena hal itu lebih hati-hati
Pendapat kedua: mengambil fatwa yang lebih meringankan sesuai dengan firman Allah:
{يريد الله بكم اليسر و لا يريد بكم العسر}
Dan Rasulullah bersabda: “Sesunngguhnya Allah menyukai engaku mengambil rukhsohnya seperti engkau menyukai jika engkau mengembil apa yang engkau inginkan”
Pendapat ketiga: memilih yang paling tahu dan waro’ dan bertanya padanya dan mengambil fatwanya. Jika hanya ada yang lebih tahu saja atau yang lebih waro’ saja maka bertanya kepada yang lebih waro’.
Pendapat keempat: mengambiil fatwa yang  sesuai dengan fatwa yang lain karena saling menguatkan dengan banyaknya dalil dan bertambanya keyakinan bahwa fatwa itu yang rajih
Pendapat kelima: memilih sekehendaknya kerena semuanya ahli fatwa

192. yang rajih adalah dilihat dari beberapa pertimbangan:
Jika sudah bertanya kepada yang lebih tahu dan waro’ maka ambil fatwanya tanpa harus mempertimbangkan dan terpengaruh ketidak tenangan hati dan tidak boleh bertanya kepada yang lainnya.
Jika belum bertanya kepada yang lebih tahu dan waro’ maka harus memilih yang lebih tahu dan waro’ itu dan kemudian betanya kepadanya dan mengambil fatwanya.
Jika hanya ada yang lebih tahu dan yang waro’ maka ambil yang waro’.
Jika dalam hal keilmuan dan waro’nya sama maka dia harus bertany kepada semunya dan mengambil yang banyak disepakati namun jika semuanya berselisih maka ambilah yang punya dalil yang kuat dan jika tidak ada dalil yang shohih maka yang rajih adalah dariyang lebih tahu dan waro’ dan kemudian pendapat yang waro’. Jika tidak seperti itu juga maka yang rajih adalah yang dengannya hati menjadi tenang dan mengamalkannya nuga tenang sesuai sabda Nabi : “tinggalkanlah yang meragukanmu dan ambil yang tidak meragukanmu”

Mengulang meminta fatwa
193. jika telah meminta fatwa apakah bagiinya mengulang pertanyaan itu jika perkara yang ditanyakan terjadi lagi padanya atau tetap mengamalkan fatwa yang pertama?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
Yang pertama: wajib mengulang meminta fatwa lagi karena kemungkinan berubahnya fatwa
Yang kedua: tidak wajib mengulang karena sudah tahu akan fatwa dalam masalah itu maka tidak wajib untuk betnya lagi.

194. yang rajih:
Jika yang dimintai fatwa pertama kali adalah yang lebih tahu dan lebih waro’ maka tidak usah mengulang lagi bertanya. Jka bukan yang alim dan waro’ dan ketika masalah itu terjadi lagi padanya dan ada yang lebih tahu maka baginy bertanya lagi



0 komentar:

Posting Komentar