KISAH NABI
NUH AS
Sepeninggal Nabi Adam AS, manusia tinggal dalam kurun waktu yang
cukup lama sebagai umat yang satu yang mengikuti petunjuk. Setelah itu mereka
berselisih dan setan pun memasukkan kejelekan yang bermacam-macam kepada mereka
dengan berbagai cara:
Ketika sejumlah orang shalih dari kaum Nabi Nuh AS meninggal dan
kaum itu bersedih atas meninggalnya mereka, maka syetan datang kepada mereka
serta memerintahkan mereka supaya membuatkan patung mereka sebagai tugu
silsilah serta untuk mengenang perilaku mereka, dan itulah awal timbulnya
penyimpangan akidah.
Setelah mereka yang membuat patung orang-orang shalih binasa, maka
datang generasi setelah mereka dan pengetahuan tentang sejarah patung itu telah
hilang maka syetan berkata kepada mereka, “Patung-patung tersebut adalah wadd,
suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr, dan nenek moyangmu telah menyembah
patung-patung itu serta memohon pertolongan kepada patung-patung tersebut.
Dengan patung-patung itulah mereka meminta hujan dan di jauhkan dari penyakit.”
Syetan terus-menerus membujuk mereka, sehingga akhirnya mereka menyembah
patung-patung tersebut dengan sungguh-sungguh walaupun datang kepada mereka
nasehat dari para pemberi nasehat.
Al-Bukhari telah meriwayatkan (4920) dari Ibnu Abbas RA berkenaan dengan
firman Allah Ta’ala: Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr.” (Nuh:
23), seraya berkata: “Nama-nama itu adalah nama-nama orang-orang shaleh dari
Nabi Nuh AS, dan ketika mereka wafat, maka syetan membisikkan kepada kaum
mereka supaya membuatkan patung mereka di majlis-majlis mereka dan menamai
patung-patung itu dengan nama-nama mereka, kemudian mereka melakukannya, tetapi
belum disembah. Sehingga ketika mereka binasa maka syetan pun mengganti
pengetahuan tentang patung-patung tersebut sehingga akhirnya disembah.”
Kemudian Allah mengutus Nabi Nuh AS di tengah-tengah mereka, dimana
mereka mengetahuinya serta mengetahui kebenaran yang dibawanya, kejujurannya
dan kesempurnaan akhlaknya, seraya berkata, “Wahai kaumku sembahlah Allah,
sekali-kali tak ada Ilah bagimu selain-Nya.” (Al-A’raf: 59).
Nuh AS memerintahkan kepada mereka supaya memperoleh kebaikan baik
di dunia maupun di akhirat, seraya berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku
adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepadamu, (yaitu) sembahlah olehmu
Allah, bertaqwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Allah akan
mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang
ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat
ditangguhkan, kalau kamu mengetahui.” (Nuh: 1-4).
Ketika Nuh AS mulai memerintahkan kepada mereka supaya beribadah
kepada Allah semata dan membuang pikiran mereka yang keliru serta menjauhi
perbuatan menyimpang yang mereka perbuat yang mendatangkan siksaan di dunia dan
di akhirat, seraya mereka menjawab, “Sesungguhnya kami memandang kamu berada
dalam kesesatan yang nyata.” (Al-A’raf: 60). Dalam ayat lain dikatakan, “Kami
tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami,
dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang
yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat
kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu
adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27).
Mereka menuntut Nuh
AS agar mengusir orang-orang yang
bersamanya dari kaum mukminin sebagai tuntutan yang muncul dari kesombongan
sebagian dari mereka, penghinaan terhadap kebenaran dan pelecehan terhadap
mahluk.
Kemudian Nuh AS menjelaskan kepada mereka bahwa ajaran yang
dibawanya bukanlah ajaran yang sesat, melainkan hendak menghilangkan kesesatan
dari mahluk, dan ia adalah seorang rasul yang membawa kebenaran dan keterangan
yang nyata dari Rabb-nya. Sedangkan berkenaan dengan keberadaan orang-orang
yang beriman, maka tidak sepatutnya mengusir mereka, bahkan mereka berhak
mendapatkan penghormatan dan penghargaan; dan ia tidak akan menyerukan kepada
mereka seruan yang membuat Rabb-nya mendatangkan kesempitan di dalamnya, seraya
Nuh AS berkata, “Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): “Aku mempunyai
gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak juga mengetahui yang
ghaib, dan tidak (pula) aku mengatakan: “Bahwa sesunguhnya aku adalah
malaikat”, dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina
oleh penglihatanmu: “Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka.”
(Hud: 31).
Nuh AS terus-menerus menyeru mereka siang dan malam; secara
sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan, tetapi seruannya itu hanyalah
menambah mereka lari dari kebenaran, dan semakin menunjukkan penentangan dan
kedurhakaan mereka dengan semakin giat beribadah serta bersandar kepada selain
Allah, sehingga Nuh AS berkata, “Ya Rabbku, sesungguhnya mereka telah
mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya
tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu-daya
yang amat besar.” Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr.” (Nuh:
21-23).
Ketika Nuh AS melihat bahwa peringatan tidak berfaidah sama sekali
bagi mereka, bahkan setiap berganti tahun, maka kedurhakaan mereka semakin
bertambah buruk dari kedurhakaan sebelumnya, seraya berkata, “Ya Rabbku,
janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di
atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan
menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang
berbuat ma'siat lagi sangat kafir.” (Nuh: 26-27).
Allah mengabulkan permohonan Nuh
AS dan memerintahkan kepadanya
supaya membuat perahu sebagai perlindungan dari-Nya. Pertolongan dan pendidikan
yang baik dari Allah kepada Nuh
AS melalui perintah pembuatan
perahu merupakan karunia dari Allah bagi hamba-hamba-Nya.
Dengan pembuatan perahu tersebut, maka Nuh AS
memiliki keutamaan serta sebagai pelopor dalam pembuatan perahu yang bermanfaat
bagi kehidupan agama dan dunia di sepanjang masa yang tidak terhitung dan tidak
terhingga. Selanjutnya Allah memberitahu kepadanya mengenai kepastian
ditenggelamkannya mereka, dan ia tidak mempertanyakan berita itu kepada
Rabb-nya karena mereka adalah orang-orang zhalim.
Ketika Nuh AS sedang membuat perahu, maka sekelompok orang dari
kaumnya melintas di hadapannya, kemudian mereka mengelilinginya sambil
mencemoohkannya, sehingga ia berkata kepada mereka, “Jika pada hari ini kamu
mencemoohkan kami, niscaya kami pun akan mencemoohkanmu ketika datang kepadamu kebinasaan (siksaan).”
Allah mewahyukan kepadanya, bahwa jika tiba waktu itu, maka seluruh
permukaan bumi akan memancarkan mata air dari berbagai arah sehingga merendam
tempat-tempat yang biasanya tidak terjangkau air, dan Allah memerintahkan Nuh
AS supaya membawa setiap binatang sepasang-sepasang agar keturunannya terhindar
dari kepunahan, karena tidak mungkin membawanya seluruhnya.
Hikmah diputuskannya mempertahankan keturunan seluruh binatang yang
telah diciptakan Allah erat kaitannya dengan kemaslahatan hidup manusia.
Kemudian ikut naik bersamanya semua orang-orang beriman baik laki-laki maupun
wanita.
Kenyataannya saat itu, bahwa kaum Nuh
AS tidak beriman kepadanya kecuali hanya
sedikit; dan Allah menyuruh Nuh
AS supaya membawa keluarganya,
kecuali orang-orang yang telah ditetapkan celaka. Setelah Nuh AS menaikkan seluruh
orang yang telah diperintahkan kepadanya, seraya berkata kepada mereka,
“Sebutlah nama Allah pada saat berlayar dan ketika berlabuh, karena
bagaimanapun besarnya sarana, tetapi tetap membutuhkan rahmat Allah serta tidak
akan sempurna, kecuali atas pertolongan Allah.”
Seketika itu Allah memancarkan sejumlah mata air dari bumi dan
memerintahkan langit supaya mencurahkan air hujan yang berlimpah-limpah,
sehingga bertemu air yang memancar dari bumi dengan air yang tercurah dari
langit, kemudian membajiri tempat-tempat yang rendah. Selanjutnya air naik
sedikit demi sedikit hingga menjangkau tempat-tempat yang tinggi serta
menggenangi puncak-puncak gunung yang tinggi. Sedang perahu itu berlayar
membawa mereka (rombongan Nabi Nuh
AS ) dalam terpaan badai gelombang
seperti sebuah gunung yang meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri.
Dalam keadaan yang sangat mengerikan itu, Nabi Nuh AS melihat
putranya yang kafir** yang mengikuti agama kaumnya dan mengingkari agama yang
telah dibawa bapaknya; dimana ia berlari seperti yang dilakukan kaumnya
menghindari air yang mengalir sangat deras, lalu Nabi Nuh AS memanggilnya
dengan suara lemah-lembut, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan
janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (Hud: 42).
Putera Nabi Nuh AS yang kafir ialah Qan’an, sedang putera-puteranya
yang beriman ialah Sam, Ham dan Yafits
Ketika itu kesombongan telah menguasai hati putranya, padahal ketika
itu sifat tersebut telah hilang kecuali dari hati-hati yang tertutup, seraya
menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari
air bah!” (Hud: 43). Putranya tidak takut dengan bencana yang menimpa mereka,
padahal air akan terus naik dan menggenangi puncak-puncak gunung, seraya Nabi
Nuh AS berkata kepadanya, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari adzab Allah
selain Allah (saja) yang Maha Penyayang.” (Hud: 43). Pada saat itu tidak ada
gunung, benteng atau tempat-tempat lainnya yang dapat dijadikan sebagai tempat
berlindung dari bencana tersebut, selain rahmat Allah. Sedang rahmat Allah saat
itu hanya diperuntukkan bagi para penumpang perahu yang ikut bersama Nabi Nuh
AS, “Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya.” (Hud: 43). Karena
putranya telah menolak ajakannya sehingga ia termasuk dalam golongan orang-orang
yang ditenggelamkan.
Allah menenggelamkan orang-orang kafir seluruhnya dan menyelamatkan
Nabi Nuh AS dan semua orang-orang yang turut bersamanya. Hal itu menjadi bukti,
bahwa ajaran agama yang dibawa Nabi Nuh AS mengenai tauhid, kebangkitan dari
kubur dan lain-lain merupakan sesuatu yang hak, sedangkan ajaran mereka yang
menentangnya adalah bathil. Juga menjadi dalil adanya balasan di dunia, dimana
orang-orang beriman berhak memperoleh keselamatan dan kemuliaan, sedangkan
orang-orang kafir berhak memperoleh kecelakaan dan kehinaan.
Setelah tujuan yang besar tercapai, maka Alllah Ta’ala memerintahkan
kepada langit agar menghentikan air hujan dan memerintahkan kepada bumi agar
menyerap air yang mengalir di atasnya yakni menguranginya sedikit demi sedikit.
Ketika air surut, maka perahu itu bertengger di atas gunung Judiy; sebuah
gunung yang sangat tinggi yang terletak di wilayah Maushil (wilayah di Irak
bagian utara). Ini merupakan bukti bahwa semua gunung yang ada di sana terendam dan
terlintasi air banjir.
Nabi Nuh AS merasa sedih dengan bencana yang menimpa putranya
(Qan’an), sehingga ia pun memohon kepada Rabbnya dengan suara yang lemah-lembut
dan penuh kekhusyuan seraya mendekatkan diri kepada-Nya, “Ya Rabbku
sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah
yang benar.” (Hud: 45). Apabila aku membawa naik keluargaku bersamaku maka
sesungguhnya Engkau Maha Penyayang di antara para penyayang.
Kemudian Rabbnya ‘Azza Wa Jalla berfirman kepadanya, “Hai Nuh,
sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan).” (Hud: 46). Yakni ia bukanlah anggota keluarga yang telah
dijanjikan Allah akan diselamatkan, dan Allah telah membatasinya dengan
firman-Nya, “… kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya.” (Hud:
40). Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan
yang tidak baik.” (Hud: 46). Sedangkan do’a keselamatan itu kamu peruntukkan
bagi puteramu yang jelas-jelas mengikuti agama kaumnya maka “… janganlahkamu
memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya.
Sesungguhnaya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk
orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Hud: 46).
Itulah teguran Allah kepada Nabi Nuh AS, dimana Allah memberikan
pengajaran serta nasehat kepadanya mengenai do’a semacam itu yang diucapkan
semata-mata karena belas kasihan orang tua kepada putranya. Sedangkan hal yang
wajib dalam berdo’a, bahwa pelakunya harus berilmu dan ikhlas di dalam memohon
keridhaan Allah Ta’ala.
Nabi Nuh AS pun berkata, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung
kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya
Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan
kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” Difirmankan: “Hai
Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu
dan atas umat-umat (yang mu'min) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada
(pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia),
kemudian mereka akan ditimpa adzab yang pedih dari Kami.” (Hud: 47-48).
Nabi Nuh AS turun dari perahunya dengan selamat, lalu Allah Ta’ala
memberikan keberkahan kepada keturunannya yang beriman dan menjadikan
keturunannya itu tetap hidup, dimana putranya yang bernama Yafits telah
memenuhi wilayah bagian Timur dengan keturunanya, Ham telah memenuhi wilayah
bagian barat dengan keturunannya dan Sam telah memenuhi wilayah di antara kedua
wilayah tersebut dengan keturunannya.
Nabi Nuh AS hidup di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun, dan ia
hidup setelah kebinasaan mereka selama waktu yang telah ditetapkan menurut
kehendak Allah.
Nabi Nuh AS adalah salah seorang dari para rasul ulul ‘azmi dan
termasuk salah seorang dari rasul-rasul yang akan dimintai syafaat pada hari
kiamat. Nabi Nuh AS ialah rasul yang pertama kali diutus kepada manusia dan
menjadi bapak manusia yang kedua (setelah Nabi Adam AS).
Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah berkata: “Bukan hanya satu orang salaf
yang berkata: “Ketika orang-orang shaleh wafat, maka kaum mereka beri’tikaf di
kuburan-kuburan mereka serta membuat patung-patung mereka, dan setelah kejadian
tersebut berlangsung cukup lama, maka kaum mereka menyembah patung-patung
mereka.”
Al-Qurthubi berkata: “Alasan kaum mereka membuatkan patung-patung
mereka untuk mengenang mereka dan amal shaleh mereka, sehingga kaum mereka
berharap memiliki kesungguhan seperti kesungguhan mereka serta beribadah kepada
Allah di kuburan-kuburan mereka, kemudian sepeninggal mereka datang generasi yang
tidak mengerti tujuan pembuatan patung-patung tersebut sehingga syetan
membisiki generasi itu; bahwa nenek moyangnya telah menyembah serta
mengagungkan patung-patung tersebut.” Untuk lebih jelasnya dapat merujuk Fath
Al-Majiid (1/281-282)
Di antara faidah yang dapat diambil dari kisah Nabi Nuh AS di atas,
bahwa seluruh rasul dari mulai Nabi Nuh AS hingga Nabi Muhammad SAW sepakat
menyerukan tauhid yang murni dan melarang kemusyrikan, dimana seruan yang
pertama kali Nabi Nuh AS serta para rasul lainnya serukan kepada kaumnya
adalah, “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu
selain-Nya.” (Al-A’raf: 59). Mereka mengulangi seruan yang pokok tersebut
dengan berbagai cara.
Faidah lainnya adalah berkenaan dengan etika dakwah dan kesempurnaannya.
Nabi Nuh AS menyeru kaumnya siang dan malam, secara sembunyi-sembunyi dan
terang-terangan, dalam segala situasi dan kondisi dengan suatu harapan akan
mendapat kesuksesan dalam berdakwah. Ia memikat hati mereka dengan sejumlah
pahala yang kontan di dunia, diselamatkan dari siksaan dan mendapatkan ni’mat
berupa harta, keturunan dan rezki yang berlimpah jika mereka beriman dan
memperoleh balasan pahala di akhirat, kemudian ia mengingatkan mereka akan
balasan yang sebaliknya jika mereka kufur. Nabi Nuh AS menunaikannya dengan
penuh kesabaran, sebagaimana dilakukan para rasul yang lainnya, menggunakan
tutur kata yang lemah-lembut dan penuh kasih sayang, menggunakan gaya bahasa yang menarik
hati mereka supaya tercapai tujuan yang dimaksud dan mengemukakan ayat-ayat dan
dalil-dalil.
Faidah lainnya, bahwa kesamaran yang dituduhkan musuh-musuh para
rasul atas kerasulan mereka sebagai dalil yang menunjukkan batilnya perkataan
para pendusta tersebut.
Sejumlah tuduhan yang dilontarkan oleh mereka kepada para rasul,
padahal mereka tidak memiliki alasan yang kuat untuk melontarkan tuduhan
tersebut menunjukan tidak adanya ilmu dan kebenaran menurut semua orang yang
berakal.
Adapun yang dimaksud dengan kesamran di atas ialah sesuatu yang
menimbulkan keraguan dan kesangsian terhadap kejujuran penyeru dan kebenaran
seruannya; sehingga menghalangi untuk dapat melihat kebenaran serta memenuhinya
atau menangguhkan pemenuhannya.
Adapun perkataan yang dilontarkan para pemuka kaum Nabi Nuh AS yang
kafir adalah, “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia
(biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu,
melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan
kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan
kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27). Simaklah apa
yang dikatakan oleh mereka, niscaya anda akan menemukan beberapa penyimpangan
yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang batil dan angkuh terhadap
kebenaran.
Sedang berkenaan dengan perkataan mereka tersebut di atas, “Kami
tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami.”
(Hud: 27).
Apakah keberadaan sesuatu kebenaran yang disampaikan seseorang harus
dipandang sebagai sesuatu yang meragukan yang menunjukkan bahwa hal itu
bukanlah sesuatu kebenaran.?
Kesimpulan dari perkataan mereka tersebut, bahwa semua perkataan
yang disampaikan seseorang dari manapun sumbernya harus dianggap sebagai suatu
kebatilan. Itulah tuduhan yang telah dilontarkan mereka terhadap semua ilmu
manusia yang bermanfaat yang bersumber dari seseorang. Perlu diketahui, bahwa
perkataan mereka yang mengganggap batil kepada semua ilmu. Padahal tidaklah di
hadapan manusia terdapat sejumlah ilmu, kecuali sebagian dari mereka dapat
mengambil manfaat dari sebagian yang lainnya dengan ilmu yang berbeda. Sedang
ilmu yang paling agung, paling benar dan paling bermanfaat adalah ilmu yang
didapatkan manusia dari para rasul, karena ilmu mereka bersumber dari wahyu
Ilahi.
Juga perkataan mereka, “… dan kami tidak melihat kamu memiliki
sesuatu kelebihan apapun atas kami.” (Hud: 27). Yakni kami dan kamu sama-sama
manusia.
Allah telah memberikan karunia dan keistimewaan kepada para rasul
dengan wahyu dan kerasulan, sehingga keingkaran suatu kaum atas para rasul
merupakan kebodohan yang besar dan tuduhan yang keji terhadap ni’mat Allah,
karena rahmat Allah dan kebijaksaan-Nya telah menetapkan para rasul dari
kalangan manusia, sehingga memungkinkan bagi para hamba-Nya untuk mempelajari
ilmu dari mereka, memudahkan ni’mat itu bagi mereka dan Allah pun memudahkan
mereka dalam menempuh jalannya. Sedangkan para pendusta telah mengingkari
ni’mat yang pokok tersebut serta jalan yang lurus yang bermanfaat yang
disampaikan para rasul kepada mereka.
Juga perkataan mereka, “…dan kami tidak melihat orang-orang yang
mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina diantara kami yang lekas
percaya saja.” (Hud: 27)
Perlu diketahui oleh setiap orang yang berakal, bahwa kebenaran itu
harus diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh dirinya dan bukan oleh orang yang
diikutinya. Perkataan ini dikatakan para pendusta semata-mata keluar dari
kesombongan dan kesesatan. Sedang kesombongan ialah penghalang terbesar bagi
seseorang untuk mengetahui dan meyakini kebenaran yang disampaikan oleh orang
yang diikutinya.
Juga perkataan mereka, “… orang-orang yang hina dina diantara kami.”
(Hud: 27)
Jika yang mereka maksud adalah orang-orang yang fakir, maka
sesungguhnya kefakiran bukanlah merupakan suatu aib.
Jika yang mereka maksud adalah orang-orang yang hina dalam perilaku,
sungguh hal itu merupakan suatu kebohongan yang nyata. Karena sesungguhnya
orang-orang yang hina dalam perilaku adalah orang-orang yang melontarkan
perkataan itu. Apakah beriman kepada Allah dan para rasul-Nya, taat kepada
Allah dan para rasul-Nya, tunduk kepada kebenaran dan jalan yang lurus yang
mendatangkan keselamatan semuanya termasuk perbuatan yang tercela.?
Apakah sifat-sifat tersebut termasuk sifat-sifat yang hina serta
para pelakunya dianggap sebagai orang-orang yang hina, atau justru yang hina
adalah orang yang berprilaku sebaliknya, yaitu orang-orang yang meninggalkan
kewajiban bertauhid kepada Allah, mensyukuri ni’mat-Nya, mengesakan-Nya dan
memenuhi hati mereka dengan kesombongan terhadap kebenaran dan terhadap mahluk?
Demi Allah, bahwa perilaku itulah yang sesungguhnya paling hina di antara
perilaku-perilaku yang hina, akan tetapi kaum itu benar-benar telah diliputi
oleh kesombongan. Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Mulia
lagi Maha Terpuji yang tidak akan menyulitkan orang-orang pilihan (para rasul).
Juga perkataan mereka, “…yang lekas percaya saja.” (Hud: 27) Yakni
mereka mudah percaya begitu saja kepadamu, wahai Nuh! Mereka tidak
bermusyawarah, tidak bersikap hati-hati dan tidak mempertimbangkan terlebih
dahulu.
Jika dipastikan, bahwa penomena tersebut adalah sebuah kenyataan,
maka hal itu menjadi dalil sebuah kebenaran.
Karena kebenaran tersebut didukung dengan dalil-dalil, memancarkan
cahaya, keagungan, keindahan, kejujuran serta ketentraman, sehingga ia tidak
lagi membutuhkan musyawarah dengan siapa pun untuk mengikutinya. Adapun hal
yang masih membutuhkan musyawarah adalah hal-hal yang samar yang tidak
diketahui kebenaran dan manfaatnya.
Adapun keimanan yang lebih terang daripada sinar matahari serta
lebih indah dari segala sesuatu yang indah, maka tidak akan mengabaikannya
kecuali orang yang sombong, seperti orang-orang yang lalim dan ingkar tersebut
di atas.
Juga perkataan mereka, “… dan kami tidak melihat kamu memiliki
sesuatu kelebihan apapun atas kami.” (Hud: 27)
Apakah dalam perkataan mereka terkandung kejujuran?
Karena mereka mengabarkan suatu berita yang bersumber dari diri
mereka dan perkataan mereka menyiratkan kebencian yang membara dalam lubuk hati
mereka; sehingga memungkinkan mereka mengatakan sesuatu yang tidak diyakini
kebenarannya.
Dalam menyikapi dua buah berita yang kontropersi, maka berita yang
benar wajib diterima, terlepas apakah sumbernya adalah orang yang dipandang
mulia atau orang yang dipandang hina, karena kebenaran itu haruslah ditempatkan
pada tempat yang lebih tinggi daripada segala sesuatu.
Juga perkataan mereka, “… bahkan kami yakin bahwa kamu adalah
orang-orang yang dusta.” (QS. 11:27)
Perlu diketahui bahwa perkataan mereka itu semata-mata didasarkan
kepada sangkaan, sedang sangkaan adalah sedusta-dustanya perkataan. Kemudian
jika mereka berkata, “… bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang
dusta”, maka perkataan mereka itu mencakup semua kebatilan yang mereka tuduhkan
kepada Nabi Nuh AS, tetapi atas alasan apakah kamu meyakini bahwa para pengikut
Nabi Nuh AS adalah orang-orang yang dusta. Perkataan mereka itu justeru menjadi
dalil dan bukti kebohongan perkataan mereka dengan sendirinya seperti yang anda
lihat. Bagaimana perkataan mereka tidak diyakini sebagai kebohongan, sedang
para rasul mengimbangi perkataan mereka dengan sejumlah dalil dan bukti yang
bermacam-macam yang tidak menimbulkan keraguan bagi siapa pun akan bathil dan
bohongnya perkataan para pembohong tersebut.
Faidah lainnya, bahwa di antara keutamaan para nabi dan bukti nyata
kebenaran kerasulan mereka ialah keikhlasan mereka yang sempurna kepada Allah
Ta’ala dalam mengerjakan ibadah mereka yang khusus yang terbatas kepada Allah
dan ibadah mereka yang umum yang sangat banyak dalam melakukan sesuatu yang
bermanfaat bagi mahluk, seperti: berdakwah dan mendidik masyarakat yang
dilaksanakan secara terus-menerus. Mereka memperlihatkan keikhlasan itu dan
memperdengarkannya secara berulang-ulang dan terus-menerus kepada pendengaran
kaum mereka, seraya masing-masing dari mereka berkata, “Hai kaumku, aku tiada
meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah
dari Allah.” (Hud: 29)
Karena keutamaan-keutamaan itulah, maka mengikuti para rasul niscaya
menyebabkan para pengikut mereka berada dalam keutamaan tersebut. Allah Ta’ala
telah memberikan karunia-Nya kepada mereka berupa kedudukan yang agung di dunia
dan di akhirat yang melebihi keagungan yang dicapai oleh para pencari dunia.
Faidah lainnya, bahwa celaan terhadap niat orang-orang beriman dan
apa yang dikaruniakan Allah kepada mereka dari sejumlah karunia-Nya dan
bersumpah kepada Allah, bahwa Dia tidak akan mendatangkan karunia-Nya kepada
mereka merupakan perkataan warisan musuh-musuh para rasul. Karena itu, Nabi Nuh
AS berkata kepada kaumnya ketika mereka bersumpah serta meminta kepada Allah
supaya mencela kaum mukminin, “… dan tidak juga aku mengatakan kepada
orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: “Sekali-kali Allah tidak
akan mendatangkan kebaikan kepada mereka.” (Hud: 31)
Faidah lainnya, bahwa wajib memohon pertolongan kepada Allah dan
menyebut nama-Nya pada saat berlayar dan berlabuh dan dalam setiap gerak-gerik.
Juga wajib memuji Allah serta banyak mengingat-Nya ketika mendapat ni’mat,
tanpa kecuali ni’mat diselamatkan dari berbagai kesedihan dan penderitaan
sebagaimana disinyalir oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Dan Nuh berkata,
“Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar
dan berlabuhnya.” (Hud: 41)
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Apabila kamu dan
orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, maka ucapkanlah:
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang
zhalim.” (Al-Mukminun: 28)
Juga wajib memohon keberkahan ketika menempati rumah yang baru,
sebagaimana wajib memohon keberkahan ketika akan bepergian dan melakukan
pekerjaan baik lainnya dan memohon keberkahan atas rumah yang sudah lama
didiami, berdasarkan firman Allah SWT, “Dan berdo'alah: “Ya Rabbku,
tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang
memberi tempat.” (al-Mukminun: 29)
Dalam do’a tersebut tercakup dzikir kepada Allah dan permohonan
supaya diberi kekuatan ketika bergerak dan diam, dan permohonan supaya
keteguhan dalam beriman kepada Allah. Keberkahan Allah niscaya akan turun
kepada seseorang dalam segala keadaan dalam tempo waktu sekejap mata.
Faidah lainnya, bahwa ketakwaan kepada Allah Ta’ala dan menunaikan
semua kewajiban yang terkait dengan keimanan merupakan faktor penyebab
diperolehnya kebahagiaan duniawi, dikarunia anak yang banyak, rezki dan
kekuatan (kesehatan) badan, meskipun untuk mencapai semuanya itu masih terdapat
faktor penyebab lainnya.
Juga ketakwaan merupakan sebab satu-satunya yang tidak ada sebab
lainnya dengan sebab itu diperolehnya kebahagiaan akhirat dan selamat dari
siksaannya.
Faidah lainnya, bahwa selamat dari siksaan dunia yang bersifat umum
dikhususkan bagi orang-orang beriman, yaitu para rasul dan para pengikut
mereka.
Sedangkan siksaan dunia yang bersifat umum dikhususkan bagi
orang-orang yang durhaka dan yang turut bersama mereka dari anak-anak dan
sejumlah binatang manakala anak-anak dan sejumlah binatang tersebut tidak
memiliki kesalahan, karena berbagai bencana yang ditimpakan Allah kepada para
pendusta meliputi anak-anak dan sejumlah binatang yang turut bersama mereka.
Adapun berkenaan dengan keterangan yang terdapat dalam sebagian
kisah Israiliyat, bahwa ketika Allah berkehendak membinasakan kaum Nabi Nuh AS
atau kaum-kaum yang lainnya, maka Allah memandulkan rahim-rahim, sehingga
anak-anak yang masih kecil tidak ikut tertimpa adzab yang ditimpakan kepada
mereka.
Keterangan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dan menafikan
keterangan yang ada yang telah diketahui.
Keterangan tersebut dibantah oleh firman Allah Ta’ala, “Dan
peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang
zhalim saja diantara kamu.” (Al-Anfal: 25)
Mayoritas pemuka kaum itu melontarkan tuduhan-tuduhan yang
menimbulkan keraguan, dimana mereka menyebarluaskannya di tengah-tengah
masyarakat dan mengulang-ngulangnya kepada pendengaran masyarakat, sehingga
jiwa-jiwa yang lemah dari kebanyakan masyarakat mempercayainya. Mereka
terus-menerus mengulanginya sehingga jiwa-jiwa yang lemah meyakininya dan
membenarkannya serta menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang pasti. Dalam
keadaan demikian, niscaya jiwa-jiwa yang lemah akan mengingkari kebenaran serta
memusuhi penyerunya, sedang para pemuka mereka tertawa dan mengolok-olokkannya
karena tujuan yang mereka kehendaki tercapai.
Penanaman keraguan tersebut dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
Penanaman keraguan kepada penyeru seperti: pencemaran nama baiknya,
kepribadiannya, perilakunya serta melontarkan tuduhan kepadanya dengan
mengatakannya tolol, bodoh, sesat, gila, memfitnahnya dan tuduhan keji lainnya
yang sekiranya dapat menghantarkan kepada tujuan yang ingin dicapai; yaitu
membuat orang-orang lari dari sekeliling penyeru dan tidak mempercayainya.
Penanaman keraguan kepada materi-materi yang diserukan misalnya:
menuduhnya sebagai perbuatan bid’ah, keluar dari kebiasaan, keyakinan serta
aturan yang diwarisi masyarakat dengan tujuan supaya orang-orang lari dari seruan
Allah dan menyimpangkan mereka dari jalan-Nya.
Penanaman keraguan kepada mereka yang diseru seperti: menganjurkan
mereka supaya bersungguh-sungguh memperhatikan kepentingan mereka, agama
mereka, agama nenek moyang mereka dan memelihara keni’matan mereka dan
kehidupan mereka yang penuh ketenangan dan kebahagiaan; yang semuanya
dimaksudkan untuk mempengaruhi semangat mereka dalam menentang seruan ke jalan
Allah.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam kitab Ushuul ad-Dakwah
(hal. 426-436).
0 komentar:
Posting Komentar