Pengikut

Pages

Sabtu, 15 Desember 2012

KETIKA MENURUNI LEMBAH



(132) Bab Bertasbih Ketika Menuruni Lembah

111 - [2993]- حَدّثنا محَمَّد بْن يوسفَ : حَدَثَنَا سفيَان، عَنْ حصَيْنِ بْنِ عَبْد الرَّحْمنِ، عَنْ سَالمِ بْنِ أِبي الجَعْدِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللّهِ (1) رضي الله عنهما، قَالَ : « كنَا إِذَا صَعِدْنَا كَبرنَا، وَإذَا نَزَلنا سَبَّحْنَا » . (2)
وفي رواية : « كنّا إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرنَا، وإِذَا تصوَّبْنَا سَبّحْنَا » .
(2993) Imam Bukhari Rahimahullah berkata , “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf,  telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hushain bin Abdirrahman dari Salim bin Abil Ja’di dari Jabir bin Abdillah radiyallahu anhu beliau berkata, “Dahulu kami jika menaiki lembah maka kami bertakbir, dan ketika kami menuruninya kami bertasbih”[1]. Dan dalam suatu riwayat disebutkan, “Dulu kami jika menaiki lembah kami bertakbir dan  jika kami menuruninya (menggunakan lafaz “tashowwabna”) maka kami bertasbih”.

Syarh Hadits :
" تصوَّبنا " yaitu berarti ketika turun atau melalui jalan yang rendah/menurun[2].
Pelajaran Dakwah yang dapat dipetik dari hadits :
1.      Antusiasme para Sahabat radiyallahu anhum pada dzikir kepada Allah azza wa jalla.
2.      Termasuk salah satu sifat da’i adalah, mengagungkan Allah azza wa jalla
3.      Termasuk sifat da’i juga adalah,  mengkuduskan atau mensucikan Allah azza wa jalla.
Hadits ini memuat pelajaran dakwah dan juga beberapa faidah yang agung, diantaranya :
Pertama : Antusiasme para Sahabat radiyallahu anhum dalam hal dzikir kepada Allah azza wa jalla.
Hadits diatas menunjukkan betapa antusiasnya para sahabat dalam berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Hal ini ditunjukkan ketika mereka menaiki jalanan diatas bukit atau di pegunungan atau suatu tempat yang tinggi mereke mengucapkan takbir, “Allahu Akbar”. Dan dalam hadits Abdillah bin Qais mereka mengucapkan, “Laa ilaha illallahu wallahu akbar”. Dan ketika mereka menuruni lembah atau tempat menurun yang rendah mereka mengucapkan, “Subhanallah” sebagaimana yang diucapkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah, “Dahulu kami jika menaiki lembah maka kami bertakbir, dan ketika kami menuruninya kami bertasbih”.
Kedua : Termasuk sifat seorang dai adalah mengangungkan Allah azza wa jalla.
Tidak diragukan lagi bahwasannya mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah merupaka kewajibanynag terpenting bagi setiap muslim dan juga muslimah, terlebih lagi bagi seorang yang telah menyandang gelar sebagai da’i ilallah azza wa jalla. Hal ini ditunjukkan oleh para Sahabat radiyallahu anhum yang mana mereka mengangungkan dan membesarkan keagungan allah azza wa jalla. Terlebih jika mereka sedang berada di tempat yang tinggi, agar mereka bisa merasakan kebesaran Allah azza wa jalla, juga ketinggian sifat dan bersemayamnya diatas Arsynya merupakan bukti keagungannya. Dan juga karena manusia jika mereka menaiki suatu tempat yang tinggi akan bisa memusatkan pandangannya kepada besarnya ciptaan allah, maka dengan itu mereka sadar bahwa yang menciptkan itu tentu lebih besar dan lebih agung dari apapun. Maka dari itu sahabat jabir bin abdillah radiyallahu anhu berkata, “Kami jika menaiki suatu tempat yang tinggi maka kami bertakbir”.
Allah azza wa jalla juga berfirman, :
} ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ{
Artinya : “(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena Sesungguhnya Allah, Dialah (tuhan) yang haq dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, dan Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar”.[3]


Juga berfirman,
}وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ {
Artinya : Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar[4].

Maka selayaknya bagi setiap muslim untuk mengagungkan Allah azza wa jalla, dan yang merupakan waktu yang tepat adlah ketika mendaki sesuatu yang tinggi, bertakbir kepada allah untuk mengagungkan kedudukan Allah azza wa jalla.
Ketiga : Termasuk sifat dari seorang da’i juga adalah mensucikan Allah azza wa jalla.
Sesungguhnya mensucikan Allah dari hal apapun yang tidak pantas dimiliki olehnya, baik itu dari ketidak sempurnaan atau suatu aib, merupakan hal terpenting dan juga taqarrub yang paling agung. Maka dari itu para Sahabat radiyallahu anhum mereka senantiasa bertasbih dan mensucikan dat Allah azza wa jalla, dan terkhusus bila mereka menuruni lembah atau menuruni suatu tempat dan menuju ke suatu tempat yang landai atau rendah. Sebagai bentuk syi’ar mereka dalam mensucikan allah dari kerendahan. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “juga dikatakan, ‘hubungan dari diucapkannya tasbih pada tempat-tempat yang rendah adalah dikarenakan tasbih itu merupakan suatu bentuk penyucian, maka hal itu disesuaikan dengan kondisi tempat yang rendah sebagaimana takbir juga disesuaikan dengan keadaan tempat yang tinggi”.
Penulis (Said bin Aly bin Wahf Al Qahtani) berkata, Dan aku juga pernah mendengar Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata, “Nuzul/turun didalamnya termuat suatu hal yang rendah, maka dihubungkan dengan tasbih, dikarenakan Allah berada pada posisi yang sangat tinggi. Sedangkan pendakian didalamnya termuat suatu hal yng tinggi maka dihubungkan dengan takbir, karena kedudukan Allah lebih tinggi (diatas Arsy)”[5].
 Dan disitu tidak menafikan bahwa seorang muslim  akan merasakan anugerah dan kekuasaan Allah azza wa jalla pada saat ia berada di tengah-tengah lembah atau tempat selainnya. Maka kemudian ia bertasbih dan mengagungkan ketinggian dzat Allah azza wa jalla sekaligus mennsucikannya dari segala kekurangan. Agar Allah azza wa jalla memberikan keselamatan kepadanya sebagaimana allah juga menyelamatkan Nabi Yunus dari kegelapan perut ikan dan lautan[6]. Allah azza wa jalla berfirman, :
}فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ }{ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ {
Artinya : Maka kalau Sekiranya Dia tidak Termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, Niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit[7].
Maka dari itu sepatutnya bagi seorang da’I untuk selalu dalam keadaan memuji allah dan mensucikan Nya. Karena segala sesuatu itu bertasbih kepada Allah azza wa jalla sebagaiman afirman Nya, :
}تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا {
Artinya : Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun".[8]
Juga karena kedudukan tasbih dan tanzih ini allah menyediakan pahala yang sangat agung di dalam melaksanakannya. Diriwayatkan dari abu Hurairah radiyallahu anhu bahwasannya Rasulullah saw bersabda,
» من قال سبحان اللّه وبحمده في يوم مائة مرة حطت خطاياه وإن كانت مثل زبد البحر«
Artinya : "Barangsiapa yang mengucapkan 'subhanallahu wa bihamdihi' dalam sehari sebanyak seratus kali, maka seluruh kesalahannya akan dihapus walaupun sebanyak buih di lautan"[9]
Juga dalam riwayat Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya radiyallahu anhuma berkata, suatu saat ketika kami sedang bersama rasulullah saw, beliau bersabda,
»أيعجز أحدكم أن يكسب كل يوم ألف حسنة ؟ " فسأله سائل من جلسائه : كيف يكسب أحدنا ألف حسنة ؟ قال : " يسبح مائة تسبيحة فيكتب له ألف حسنة، أو يحط عنه ألف خطيئة«
Artinya : " Apakah salah seorang diantara kalian merasa keberatan untuk bisa mendapatkan seribu kebaikan dalam sehari? Maka bertanyalah salah seorang penanya, “bagaimana salah seorang dari kami bisa menghasilkan seribu kebaikan itu? Maka beliau bersabda, “Dengan bertasbih seratus kali tasbih maka akan ditulis baginya seribu kebaikan atau dihapuskan darinya seribu keburukan”.[10]

Maka hal ini sangat ditekankan kepada setipa da’i yang jujur dan ikhlas untuk benar-benar memperhatikan urusan tasbih ini, karena kedudukannya yang sangat agung di sisi Allah azza wa jalla, juga karena besarnya pahala yang ada padanya.
Wallahu A’lam bis Shawaab
Referensi :
Fiqh Dakwah fie Shahih Imam Al Bukhari, DR Said bin Wahf bin Aly Al Qahtani


[1] Hadits no 2993 yang kelanjutannya terdapat dalam kitab jihad dan ekspedisi, bab takbir jika menaiki tempat yang mulia 4/20, nomor hadits 2994
[2] Lihat juga ; An Nihayah fie gharibil Hadits wal Atsar karangan Ibnu Atsir, bab Shad dan bersama wawu, dalam madah « صوب » 3/57, Juga Syarhul Kirmani terhadap Shahih Al Bukhari 13/12, Fathul Baari Syarh Shahih Al Bukhari milik Ibnu Hajar Al Atsqolani 6/136
[3] Al Hajj ayat 62
[4] Al Baqarah 255
[5] Aku mendengar dari beliau ketika mensyarh hadits nomor 2993, 2994 dari Shahih Al Bukhari
[6] Lihat  juga Fathul Baari milik Ibnu Hajar 6/136
[7] Dua ayat dari ash Shaffat 143-144
[8] Surat Al Isra’ ayat 44
[9] Muttafaqun alaihi, Bukhari dalam kitab do’a-do’a bab keutamaan tasbih 7/215 dengan nomor 4605, Muslim  dalam  kitab dizkir dan do’a-do’a dan istighfar bab keutamaan tahlil, tasbih dan do’a 4/2071 dengan nomor 2691
[10] Muslim  dalam  kitab dizkir dan do’a-do’a dan istighfar bab keutamaan tahlil, tasbih dan do’a 4/2697 dengan nomor 2698

0 komentar:

Posting Komentar