NIZHOMUL HISBAH
Setiap muslim memiliki tuntutan dalam dirinya untuk
senantiasa menyelaraskan perkataan dan perbuatannya sesuai dengan ajaran Islam.
Oleh sebab itu, Allah Ta’ala memerintahkan kepada para dai’ untuk menyampaikan
apa yang telah mereka dapatkan tentang Islam. Disamping itu, hal tersebut juga
sangat diperlukan karena tidak sedikit dari orang Islam yang bodoh akan dien
mereka sendiri, dienul Islam. Baik hal itu dikarenakan dakwah Islam yang belum
sampai kepada mereka atau karena intensitas dakwah yang kurang.
Sehingga timbul kemaksiatan-kemaksiatan dan
pelanggaran-pelanggaran syariat Islam yang disebabkan kebodohan. Meskipun
mereka sudah mengetahui tentang syariat Islam namun terkadang mereka tetap
melakukan kemaksiatan karena mengikuti hawa nafsu.
Jika dalam sebuah tatanan masyarakat kemungkaran telah
nampak, maka wajib untuk memberantasnya. Dan jika kebaikan-kebaikan mulai
menghilang, maka wajib bagi para dai’ khusunya, dan orang-orang mukmin pada
umumnya untuk mengajak manusia menghidupkannya kembali. Disinilah peran para
dai’ untuk senantiasa beramar ma’ruf nahyi mungkar.
A. Pengertian
Hisbah
Menurut bahasa, hisbah yaitu al-‘Addi
wa al-Hisab yang berarti bilangan atau hitungan. Sedangkan menurut istilah para
fuqaha, hisbah adalah:
أمر بالمعروف إذا ظهر
تركه، ونهي عن المنكر إذا ظهر فعله
“memerintahkan pada kebaikan apabila
sudah jelas ditinggalkan, dan mencegah kemungkaran apabila sudah jelas
dilaksanakan.” Para ulama menyebutnya dengan istilah amar ma’ruf nahyi mungkar.
Dengan demikian kata hisbah disini
maksudnya adalah tindakan amar ma’ruf nahyi mungkar.
B.
Pensyariatan Hisbah
Terdapat banyak sekali dalil tentang disyariatkannya hisbah, baik dalam
al-Qur’an maupun al-Hadits, diantaranya;
Firman Allah Ta’ala,
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.
Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ..
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar..” (QS. At-Taubah: 71)
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ..
Artinya: “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan men cegah dari yang munkar..” (QS. Ali Imran:
110)
الَّذِينَ
إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا
بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di
muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar..” (QS. Al-Hajj: 41)
لُعِنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى
ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ، كَانُوا لا
يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Artinya: “(78). Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan
lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka
dan selalu melampaui batas. (79). Mereka satu sama lain selalu tidak melarang
tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu
mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah: 78-79)
Sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,
من رأى منكم
منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه ومن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya
apabila tidak bisa maka rubahlah dengan mulutnya apabila tidak bisa maka
rubahlah dengan hatiny yang demikian itu adalah selemah-lemah iman
C.
Kedudukan hisbah dalam islam
Hisbah dalam islam memiliki peran yang sangat penting karena cakupannya
dalam masalah amar ma’ruf nahi mungkar. Dimana amar ma’ruf nahyi mungkar adalah
merupakan kekhususan dari diutusnya para rasul. Allah Ta’ala berfirman:
يَأْمُرُهُمْ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dan Allah telah mensifati orang-orang yang beriman sebagai umat yang
senantiasa beramar ma’ruf nahyi mungkar. Allah berfirman:
الْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
D. Hikmah
dilaksanakannya Hisbah
Hikmah diperintahkannya hisbah, antara lain:
1. Menyampaikan
dakwah al-islamiyah,
2. Sarana
penanggulangan datangnya adzab dari Allah,
وَمَا
أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Jika kekafiran,
kemunafikan dan kemaksiatan adalah penyebab datangnya suatu mushibah atau
adzab, kemudian orang-orang mendiamkannya serta tidak peduli, maka mereka ikut
menanggung dosanya. Sabda Nabi saw:
إن الناس إذا
رأوا المنكر فلم يغيروه أوشك الله أن يعمَّهم بعذاب منه
Jika kemaksiatan adalah
penyebab datangnya musibah maka sebaliknya taat adalah penyebab kenikmatan.
Firman Allah:
{لَئِنْ
شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ} ، وقال تعالى: {فَآتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ
الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآخِرَةِ} ، وقال تعالى: {وَالَّذِينَ هَاجَرُوا
فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ، الَّذِينَ صَبَرُوا
وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ}
3. Mengharapkan
rahmat dari Allah.
E.
Rukun Hisbah
Rukun Amar ma’ruf dan nahi Munkar terdiri
dari empat :
1.
Muhtasib (Pelaksana Amar ma'ruf Nahi Mungkar)
2.
Muhtasab’ alaih (Orang yang menjadi objek
Amar Ma’ruf Nahyi Munkar)
3.
Muhtasab fih (Perbuatan yang disuruh
atau dilarang)
4.
Nafsul-ihtisab (Perbuatan dari si
muhtasib (pelaksana amar ma'ruf - nahi mungkar))
Penjelasan point-point di atas:
Muhtasib (Pengatur dan Pelaksana)
itu mempunyai syarat yaitu :
- Mukallaf, yaitu: Orang yang
telah diberatkan dengan kewajiban agama, karena telah dewasa dan
berpikiran sehat
- Muslim dan
mempunyai kesanggupan, termasuk dalam kewajiban itu semua rakyat.
Walaupun mereka tidak memperoleh ijin dari yang berwenang. Dan termasuk
juga wanita, budak, dan orang fasiq.Maka tidak termasuk orang gila,
anak-anak, orang kafir, dan orang yang tidak mempunyai kesanggupan (orang
lemah).
Dan ada yang menambahkan
bahwa seorang muhtasib harus memperoleh ijin dari pihak imam (kepala
pemerintahan) dan wali negara. Persyaratan ini tidak dimasukkan ke dalam syarat
seorang muhtasib karena dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa tiap-tiap orang
yang melihat perbuatan munkar lalu berdiam diri niscaya ia durhaka. Karena
wajib melarangnya dimana saja dilihatnya. Maka penentuan dengan syarat penyerahan
kepada imam, adalah kurang tepat dan bersifat isidentil.
Muhtasab
'alaih (Objek Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar)
Syaratnya :
Bahawa orang yang dilarang dari perbuatannya tsb adalah perbuatan mungkar. Muhtasab
'alaih itu adalah seorang manusia, dan tidak disyaratkan harus mukallaf.
Misalkan orang gila mabuk.
Muhtasab fih (Perbuatan yang disuruh atau dilarang)
Tiap-tiap munkar yang ada sekarang, yang jelas bagi si muhtasib, tanpa
diintip, diketahui kemunkaran itu tanpa ijtihad, mempunyai empat syarat:
1. Kemungkaran itu benar-benar
ada.
Perkataan maksiat ditukar dengan perkataan munkar, karena munkar lebih umum
dari maksiat. Seperti contoh, barangsiapa melihat orang gila atau anak kecil
meminum khamar, maka ia harus membuang khamar itu dan melarang meminumnya.
Perbuatan tersebut tidak dinamakan maksiat pada orang gila. Maka perkataan
munkar adalah lebih menunjukkan dan lebih umum dari kata maksiat.
2. Kemungkaran itu
ada pada waktu sekarang. Yaitu menjaga juga dari hisbah atas orang yang telah
selesai meminum khamar. Maka yang demikian, tidaklah atas seseorang pribadi dan
munkar itu telah berlalu. Dan menjaga juga dari apa yang akan terjadi pada
keadaan berikutnya. Contohnya orang yang diketahui akan meminum khamar nanti
malam. Maka hisbah terhadap orang itu adalah pengajaran. Jika ia tidak jadi
melakukannya, maka tidak boleh juga memberi pengajaran. Karena yang demikian
itu buruk sangka terhadap orang Islam.
3. Kemungkaran itu
jelas ada tanpa harus diintip. Maka tiap-tiap orang yang menutup perbuatan maksiat di
rumahnya dan menguncikan pintunya, niscaya tidak boleh dilakukan pengintipan.
4. Kemungkaran itu
diketahui tanpa ijtihad.
Maka tiap-tiap yang berada
pada tempat ijtihad, niscaya tiada hisbah padanya. Maka orang yang bermadzhab
Hanafi tidak boleh memandang munkar terhadap orang yang bermadzhab Syafi’I yang
memakan dlabb (binatang darat yang bentuknya seperti biawak) dan dlabu (
bentuknya mengarah ke babi hutan, tetapi bertanduk dan ekornya berbulu. Leher
dan punggung berbulu panjang). Dan orang yang bermadzhab Syafi’I tidak boleh
memandang munkar kepada orang yang bermadzhab hanafi yang meminum air nabidz
(air buah anggur kering) yang tidak memabukkan dan menerima pusaka dzawil-arham
( keluarga pihak ibu yang menurut madzhab Syafi’I bukan ahli waris, sedangkan
bagi hanafi, itu adalah ahli waris). Namun orang bermadzhab Syafi’I dapat
bertanya jika orang Syafi’I sendiri yang melakukan itu, demikian pula untuk
madzhab Hanafi.
Hisbah (pelaksanaan) amar ma’ruf dan nahi munkar mempunyai tujuh tingkat:
1. Ta'arruf
(Pengenalan)
2. Ta
'rif (Pemberitahuan)
3. Larangan
dengan pengajaran/nasehat dengan perkataan yang lemah lembut
4. Memaki
dan menggertak dengan kata-kata keras (bukan keji) dan kasar
5. Merubah
dengan tangan (melarang perbuatan munkar dengan paksaan secara langsung,
seperti memecahkan alat permainan, membuang khamar, melepaskan kain sutra dari
pemiliknya, dan sebagainya)
6. Pengancaman dan penakutan (Tahdid dan takhwif)
0 komentar:
Posting Komentar